Reboot Film Remaja
Film Indonesia, mulai bulan Agustus ini diisi dengan dua film yang telah memiliki kenangan indah
Bagi penonton film era tahun 80 an, kedua judul film ini, menjadi buah bibir.
Pada masa itu , semua ingin menjadi karakter dalam film tersebut.
Dua film ini, Catatan Si Boy dan Puspa Indah Taman Hati , tampil dengan gayanya masing-masing.
Namun menurut pengamatan Cinemags, ada hal-hal yang dapat diperhatikan saat penayangannya.
Namun kali ini pembahasan lebih pada para pemerannya.
Para Pemeran
Catatan Si Boy versi 2023, para pemerannya, dapat dikatakan mengikuti selera masa kini.
Mengikuti gaya dan minat para Gen Z , dan ini rela dilakukan dengan mempertaruhkan esensi dari jati diri Boy.
Dari tulisan-tulisan yang termuat di berbagai ragam media tempo dulu.
Pemeran Catatan Si Boy, versi Onky Alexander, ditampilkan bergaya “macho”, lover boy dan setia kawan.
Adapun versi Angga Yunanda , digambarkan lebih pada karakter yang lembut, setia dan setia kawan.
Persamaannya adalah support dari masing-masing keluarga tetap ada.
Mereka adalah bukan dari keluarga “broken home”.
Kemudian terjadi juga shifting karakter Emon.
Pada versi lama, Emon ini adalah lelaki yang kemayu, dan agak manis.
Sedangkan versi 2023, lebih menonjolkan sisi kemanisannya.
Mungkin ada yang mempertanyakan apa bedanya kemayu dengan manis.
Hal ini dikarenaikan secara pengertian bahasa Indonesia serta perasaan , keduanya artinya sama.
Namun bagi yang memhami bahasa Jawa, akan memahami kemayu disini.
Lebih kepada bahasa tubuh yang lebih lembut dari lelaki pada umumnya.
Namun ia, tetap membawakan aura lelaki yang jantan.
Sedangkam versi manis, lebih kepada hal-hal yang lebih dari hal yang disebutkan tadi.
Namun, jika diperhatikan di sosial media, memang versi manis ini adalah trend masa kini.
Jadi jika melihat bahwa film Catatan Si Boy versi 2023, memang ditujukan sekali mengikuti arus trend masa kini.
Maka pemilihan ini tentunya dirasakan sangat tepat.
Puspa Indah Taman Hati, para pemerannya kkususnya para karakter utama.
Prilly Latuconsina (Karmila dan Ratna) dan Yesaya Abraham (Galih), diminta mengikuti gaya tahun 80 an.
Mengikuti film pertamanya Galih dan Ratna, semua hal dalam film ini harus membawa trend tahun 80 an.
Oleh karena itu, yang paling menonjol tentunya adalah penggunaan bahasa baku.
Ini adalah salah satu kesulitan yang harus mereka jalani.
Selain cara berjalan dan cara melihat lawan bicaranya.
Lalu juga cara besosialisasi menggunakan musik yang merupakan adegan krusial .
Kesulitan para pemerannya, tentunya sangat tinggi dan riskan.
Hasil kerja keras mereka, kembali lagi hanya bisa dilihat dari salah satunya perolehan jumlah penonton.
Jadi kalau kamu sebagai penonton, tentunya penilaian bagus tidaknya reboot dua film ini.
Akan menjadi salah satu penanda, sebenarnya kamu termasuk generasi oldiest atau generasi Z