Sebuah film yang bermuasal dari kegelisahan Kamila Andini , saat ini menjadi buah bibir , rata-rata memberikan respon positif akan isyu yang dibawa. Film ini berjudul Yuni.
Deretan penghargaan pun berdatangan baik dari festival-festival Internasional , hingga nasional . Yuni dan warna ungu saat ini telah menjadi fenomena, terlebih juga dengan latahnya beberapa film mulai menggunakan warna ungu sebagai warna dominan pada film tersebut, hingga penonton yang terhanyut dalam warna ungu ini sendiri.
Baca juga :Film Yuni dan kegelisahan Kamila Andini
Dalam opini kali ini, hendak dibahas beberapa hal.
Apakah isyu yang disampaikan merupakan sesuatu hal yang baru ?
Penulis mengambil contoh satu satu momen , isyu mengenai perempuan yang memiliki kebebasan bertindak menurut dirinya. Sebenarnya ini telah muncul dalam segi lain di novel fenomenal Kabut Sutra Ungu karya Ike Soepomo. Disini karakter yang diceritakan adalah Miranti , ia bebas sebebasnya mempertahankan keteguhan hatinya di tengah perubahan zaman, sehingga gangguan dan gunjingan bertubi-tubi pun ia hadapi dengan tenang. Sosok Miranti terlihat tegar , namun sebenarnya hatinya hancur .
Namun cerita sebenarnya juga mengikuti kondisi dan tuntutan sosial budaya Indonesia di era itu, hingga menyesuaikan dengan tuntutan ini akhirnya Miranti diceritakan luluh hatinya oleh sosok pria yang berhasil mengambil hati anaknya.
Kemudian tahun 1979 oleh sutradara Sjumandjaya, diangkat ke layar lebar dengan judul Kabut Sutra Ungu serta dibintangi oleh Yenny Rachman dan Roy Marten . Film berhasil meraih beragam penghargaan , hingga akhirnya film “Kabut Sutra Ungu” dinobatkan sebagai film nasional yang mengetengahkan psikologi secara berhasil (Rendy Sugiyat dalam Majalah Meia Karya No. 20, 11 Oktober 1985 dalam rubrik Seni dan Budaya).
View this post on Instagram
Hingga akhirnya setelah proses pembuatan dan pemutaran di beragam festival di dunia disertai keberhasilan memperoleh penghargaan, Yuni mencatatkan prestasi di Indonesia melalui ajang FFI ,Arawinda Kirana pemeran Yuni mendapat penghargaan sebagai Pemeran Utama Perempuan Terbaik. Berlanjut pada putusan Komite Seleksi Oscar Indonesia (The Indonesian Oscar Selection Committe) memilih film “YUNI” sebagai wakil resmi Indonesia untuk berlaga di ajang Piala Oscar ke-94 tahun 2022 untuk kategori The International Feature Film Award.
Mengenai banyaknya warna ungu diterapkan pada film Yuni, dengan lugas telah disampaikan oleh Kamila Andini bahwa , ” Kehadiran Ungu sebagai hantu, obsesi dan kepemilikan Yuni sebagai perempuan kemudian bukan sekedar treatment , tapi juga kata dalam dialog, cerita dalam karakter, keperempuanan dalam masyarakat dan juga emosi dalam perjalanan Yuni menuju sebuah kata yang asing:dewasa”
Jika kembali pada isyu kebebasan ala Kabut Sutra Ungu di atas, nampaknya karakter perempuan dalam masing-masing film ini menuju dalam suatu proses ke depan yaitu pendewasaan.
Namun bisakah jika sejenak ini disederhanakan saja, bahwa warna ungu sebenarnya adalah warna personal dari sosok Kamila Andini sekeluarga , sehingga menjadi sesuatu yang wajar jika pemilihan warna pada suatu cerita yang personal akan termunculkan saja mengalir apa adanya.
Kembali ke perjalanan Yuni, walaupun film ini tidak berhasil masuk ke dalam ajang bergengsi Oscar, harapan pun telah tumbuh akan pintu yang kembali telah dibuka lebih lebar.
Tinggal ke depannya, bagaimana sineas-sineas melepaskan diri sebebas-bebasnya , ini juga mencakup para penonton film di Indonesia yang juga dapat membuka diri sebebas-beasnya dari “hantu pakem” film Indonesia yang selama ini membelenggu pemikiran dan selera menonton. Sehingga jika ada sebuah film yang melanggar “hantu pakem” tersebut, labelisasi pun segera bermunculan dan viral , membuat sineas yang membuatnya merasa seperti bertemu dengan tembok kasat mata.
Pada akhir penutup artikel yang terpangkas ini, (karena artikel panjang akan terasa melelahkan dibaca ) , harapan penutup tahun 2021 ini film Yuni dapat menjadi suar untuk kebebasan para kreator dan penikmat film di tahun-tahun mendatang.