Reboot Teenage Mutant Ninja Turtles, Gen Z Banget
Menonton Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem , akan membawa suasana berbeda jika dibandingkan dengan film-film terdahulunya.
Pasalnya, alur cerita kali ini dekat dengan Gen Z yang sedang senang bereksplorasi dan juga menghadapi sikap protektif orang tuanya.
Film Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem ini dipertajam oleh Jeff Rowe, yang sebelumnya menyutradarai film The Mitchells vs. the Machines, yang juga mengikuti gaya animasi yang serupa.
Gaya animasinya berbeda dari yang biasa dilihat, karena sekilas lalu seperti graffiti dan sangat menarik perhatian dengan paduan warna-warnanya.
Kemudian scoring lagunya pun juga membawa bias tahun 90 an, memberikan pengingat akan asal franchise film ini bermula.
Dapat dikatakan, pada setiap adegan aksi, irama hip hop menggambarkan bahwa para kura-kura ini masih remaja.
Para pengisi suara Leonardo (Nicolas Cantu), Raphael (Brady Noon), Donatello (Micah Abbey), dan Michelangelo (Shamon Brown Jr.) disuarakan oleh para remaja sebenarnya.
Dengan keunikan ini, Jeff Rowe mempertegas bahwa ini adalah film remaja, dan penonton memasuki dunia masa remaja
Mereka taat pada perintah orang tua, namun pintar juga mencari alasan demi menyalurkan rasa ingin tahu mereka.
Pertemuan mereka dengan April (Ayo Edebiri), dapat dikatakan awal mula mereka menyadari bahwa ada dunia lain di luar sana, dimana mereka bisa masuk.
Menarik diperhatikan bahwa Ayo Edebiri , hadir pula sebagai sosok remaja dengan segala permasalahannya sebagai calon reporter.
Ini mengobrak-ngabrik pemahaman sosok April yang telah sering ditampilkan selama ini.
Kebingungan akan Identitas
Menariknya pula, ide cerita film ini didasari pada kebingungan remaja akan identitas mereka di lingkungan sosial, juga disisipkan.
Apik dan tidak terlalu ketara, namun akan terasa relate sekali dengan Gen Z, yang baru memasuki dunia orang dewasa.
Apakah memang hanya ada satu solusi dari setiap permasalahan?
Ini diutarakan saat dialog sesama “mutan” , baik dalam posisi baik atau jahat.
Adegan ini benar-benar mewakili wajah remaja, gen Z.
Pada saat terbuka, ada banyak opsi dan solusi dari setiap permasalahan, ini benar-benar mewakili perasaan Gen Z dan penonton yang berusia lebih lanjut pun, terbawa akan perasaan serta emosi ini.
Bagian ini diletakkan secara manis, pada adegan penuh kekuatan dari para kura-kura remaja ini.
Dapat pula diperhatikan , bagaimana kura-kura remaja ini menyampaikan dalam dialog, bahwa mereka telah cukup berada di dunia mereka (baca selokan kota New York) selama 15 tahun, dan ini adalah waktunya mereka memasuki dunia manusia (baca orang dewasa).
Ini adalah masa bagi para Gen Z, untuk tampil di panggung dan mereka telah siap untuk hal ini.
Dilema Orang Tua
Disini juga ditemukan dilema sosok orang tua bagi para kura-kura ini.
Sebagai sosok orang tua, Splinter (Jackie Chan) , memberikan warna suara kesepian namun juga melindungi.
Ini mewakili kegelisahan para orang tua, saat menghadapi anak-anaknya yang memasuki masa remaja.
Di satu pihak, masih ingin bermain bersama anak-anaknya, namun di sisi lain anak-anak telah memiliki agenda khusus tersendiri.
Rasa kesepian pun melanda, namun sebagai orang tua, Splinter pun rela melakukan apapun demi anak-anaknya dan ini ditampilkan apa adanya. Memberikan arahan, namun kesempatan tetap ada di tangan para remaja ini.
Akan hal ini, Cinemags menyukai penempatan posisi karakter Splinter , yang secara terbuka , mengakui pula akan kesalahan yang ia lakukan, dengan mengisolasi anak-anaknya.
Ini merupakan hal yang “manusiawi” dan manjadikan film ini semakin menarik perhatian penontonnya.
Bagi yang penasaran, sudah dapat menonton di bioskop