Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags untuk lomba review film Deadpool dan sama sekali tidak mencerminkan pandangan editorial Cinemags. Anda juga bisa ikut serta dalam lomba review film Deadpool di sini.
Note: spoiler alert!
Dengan marketing campaign yang gila dan nyeleneh, tidak salah jika Deadpool yang disutradarai oleh Tim Miller adalah salah satu film superhero yang ditunggu-tunggu tahun ini, apalagi buat fans berat komiknya. Sebagai bagian dari X-Men Cinematic Universe, Deadpool bercerita tentang Wade Wilson (Ryan Reynolds), mantan anggota Special Forces yang kemudian beralih jadi pembunuh bayaran. Setelah didiagnosa menderita kanker, Wade memutuskan untuk menyembuhkan dirinya dengan mengikuti eksperimen aneh yang dilakukan Ajax a.k.a Francis (Ed Skrein) yang justru membuat dirinya menjadi mutan dengan alter-ego bernama Deadpool.
Di tengah film-film superhero lainnya dengan karakter jagoan yang idealnya berbudi luhur dan membela yang lemah, Deadpool sebenarnya semacam anti-hero. Deadpool mengakui dirinya super, tapi jelas bukan hero. Film Deadpool sendiri tidak menggambarkan bagaimana ia membela dan menyelamatkan dunia, tapi lebih ke misi balas dendam pribadi. kekuatan Deadpool ada pada karakter Deadpool itu sendiri yang membuat filmnya jadi sangat menarik. Wade a.k.a Deadpool adalah orang yang banyak bicara, dengan selera humor cenderung sarkastik dan seenaknya sendiri. Boleh dibilang, ia menyebalkan – namun kata-kata dari mulutnya bagaikan lelucon smart yang dilontarkan stand-up comedian. Sama seperti komiknya, Deadpool di film juga melakukan breaking-the-fourth-wall, dimana ia bicara kepada penonton melalui kamera sebagaimana yang dilakukan Rob Gordon di High Fidelity. Hal ini tentu saja membuat Deadpool bisa melontarkan lelucon yang mungkin (hanya) bisa dipahami oleh penonton yang mengikuti film-film superhero lainnya, terutama serial X-Men. Tonton saja ketika Deadpool mengolok – ngolok peran “gagal” Ryan Reynolds saat menjadi The Green Lantern (“Don’t make the suit green. Or animated!”), atau segala guyonan soal Wolverine dan X-Men (“Which professor? McAvoy or Stewart?”). Sampai disini, karakter Deadpool sendiri adalah yang membuat film ini berhasil. Because he is super hilarious, dan Ryan Reynolds bisa memerankan karakter Wade a.k.a Deadpool dengan baik.
Namun, selain pesona Deadpool dan kegantengan Ryan Reynolds (sebelum jadi mutan berwajah ala Freddie Kruger dengan peta Utah di muka), secara cerita Deadpool sendiri cukup sederhana dengan sisipan bumbu romantis. Bumbu romantis ini sebenarnya yang terasa janggal bagi keseluruhan mood Deadpool sendiri, atau romantisme ini memang menjadi jalan-putus-asa bagi studio untuk membuat karakter Deadpool bisa meraih simpati penonton. Walaupun sejujurnya, selera humor Deadpool sudah cukup membuat penonton mencintai karakter Deadpool, apalagi jika mengingat film ini memiliki segmen dewasa (Rating R, sementara kebanyakan film superhero lainnya maksimal PG-13). Deadpool adalah karakter yang konyol, humoris dan kasar, sehingga rasanya terlalu “menye-menye” ketika semua hal yang dilakukannya atas nama cinta. Saya perempuan, mencintai romantisme, tapi saya merasa bumbu romantisnya ini tidak masuk akal. Dan ketika karakter sepede Deadpool malu dengan mukanya sendiri yang buruk akibat eksperimen yang menjadikannya mutan rasanya agak aneh (remind me: he is a guy, not a girl, right?).
Dengan rating R, jelas Deadpool bukanlah karakter superhero yang layak anakmu idolakan. Deadpool sendiri dipenuhi sumpah serapah, humor dewasa (“I’m touching myself tonight”), dan adegan yang brutal dan sadis. Menontonnya di bioskop Indonesia mungkin akan membuat kenikmatan sedikit berkurang, karena ada banyak sensor yang membuat kita tidak bisa menyaksikan filmnya secara utuh (termasuk adegan seks dan adegan sadisnya). Namun kalo bicara soal adegan sadis, Tim Miller masih kalah dengan apa yang dilakukan Matthew Vaughn lewat Kick Ass (2010) atau Kingsman: The Secret Service (2015), dimana adegan sadisnya – ironisnya – bisa ditampilkan sangat elegan dan stylish. Terlalu bertumpunya film pada karakter Deadpool juga membuat karakter lainnya, termasuk sang villain dan sang pacar, jadi kurang memorable.
Lalu, apakah Deadpool adalah film yang buruk?
Tidak juga. Deadpool tetaplah film menghibur dan berbeda dari kebanyakan film superhero lainnya. Walaupun memiliki cerita dangkal, dengan plot romantis yang nggak terlalu penting, namun beruntunglah film ini punya karakter Deadpool yang nyentrik, kocak dan gila. Still, watching Deapdool is not waste your time.