Review Detention kali ini , sedikit mengandung “spoiler” . Direncanakan akan tayang tanggal 18 November 2020, penayangan Detention diundur agar semua penonton dapat menikmati serunya film ini bersama-sama.
Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi , saat seseorang menyaksikan sebuah film yang merupakan sebuah adaptasi dari game populer , salah satu diantaranya adalah ekspektasi tinggi, agar film ini mewakili apa yang dirasakan dan dipikirkannya, saat memainkan game tersebut.
Detention berhasil memenangkan 5 penghargaan dalam 56th Golden Horse Awards, dengan kategori Best New Director , Best Art Direction, Best Adapted Screenplay, Best Visual Effects dan Best Original Film Song bukan tanpa alasan.
Mengambil setting waktu di era tahun 1960 an, Taiwan pada masa itu dikuasai oleh militer , dan banyak larangan yang diberlakukan terutama untuk suara-suara berbau faham komunis. Hal ini juga termasuk pelarangan membaca buku-buku yang dianggap mendukung pemikiran ke arah tersebut.
Detention mengenalkan penontonnya tentang Teror Putih , yaitu saat Partai Kuomintang (KMT) yang berkuasa di Taiwan memenjarakan lebih dari 140.000 lawan politik antara tahun 1947 dan 1987.
Fokus lokasi cerita pada sekolah Greenwood High School, dengan dua tokoh utama yaitu Fang Ray-shin (diperankan oleh Gingle Wang) dan Wei Chung-ting (diperankan oleh Tseng Ching-hua) .
Fang Ray-shin mendapati dirinya berkeliaran di aula Greenwood High, hingga akhirnya bertemu dengan Wei Chung-ting. Mereka hanya berdua dan hari sudah malam , mereka tidak bisa keluar dari sekolah karena banjir di depan sekolah telah memutuskan jalan , sehingga mereka memutuskan untuk kembali dan menunggu di dalam sekolah. saat menunggu inilah mulai muncul teror dari sosok menakutkan, dan mereka berdua terus berusaha menghindari teror tersebut dengan berupaya mencari lagi jika ada yang masih tertinggal di sekolah.
Saat Fang dan Wei melarikan diri melalui sekolah labirin, mereka mengetahui bahwa sosok menakutkan itu ada kaitannya dengan kelompok belajar untuk buku-buku terlarang. Perlaha-lahan mereka pun mulai mengetahui kejadian mengerikan yang menimpa kelompok belajar tersebut dan kaitannya dengan diri mereka berdua.
Pada saat inilah , alur ceritapun dibawa mengikuti alur maju mundur dan cerita terbagi menjadi tiga babak .
Melalui babak-babak ini, seolah apa yang diminati penonton terwakili dengan baik. Bagi penyuka “jumpscare” , akan menemukannya pada babak pertama. Bagi penyuka thriller dan misteri akan menemukannya pada babak kedua. Akhirnya bagi penyuka romansa, akan menemukannya pada babak ketiga.
Bentuk visual film ini, harus mampu mewakili visual sosok arwah dalam dunianya. Sosok arwah ini harus kembali mengingat masa lalunya dan juga alasannya mengapa dirinya terjebak dalam ruang waktu dan kejadian yang terus berulang-ulang tanpa henti, hingga akhirnya dia memilih keputusan yang tepat .
Film ini juga harus mampu mewakili uniknya dunia arwah , harus berbeda sama sekali dengan kehidupan nyata, namun juga harus mampu menampilkan kehidupan nyata itu sendiri.
Menggunakan teknik penceritaan maju mundur , Joh Hsu menggunakan transisi perubahan dalam waktu , melalui perubahan komposisi warna dan efek suara. Tomi Kuo – Renovatio Pictures, berhasil menerapkan hal tersebut sehingga penonton benar-benar dibawa masuk ke dunia arwah yang absurd namun juga masih terkait dengan alam nyata yang biasa penonton lihat. Teknis visual mereka sangat rapih dan tidak terasa membosankan, karena berbeda dengan visual yang biasa penonton saksikan selama ini dalam film-film bergenre sejenis.
Secara keseluruhan film ini mampu mewujudkan ekspektasi para penontonnya dan mempunyai potensi untuk dapat ditonton berulang kali oleh para penikmat film dan penyuka gamenya.
Baca juga : John Hsu Mengadaptasi Game Detention Menjadi Film Thriller Unik