Sampai Nanti, Hanna!
Film dengan latar tahun 90-an membawa kisah tentang seorang perempuan bernama Hanna.
Ini adalah kisah mengenai perempuan, sehingga banyak hal yang sangat dijabarkan secara drama dan tentunya dari sudut pandang perempuan
Ini adalah kisah Hanna sebagai anak, istri dan ibu.
Kritik Sampai Nanti, Hanna!
Ada yang berbeda dari Hanna
Mengapa ia mendapat perlakuan berbeda dibandingkan kedua kakaknya?
Orang tuanya terutama Ibu (Meriam Bellina) , sangat memberikan pembeda yang dirasakan Hanna (Febby Rastanty) sangat menyesakkan.
Baca juga :Sampai Nanti, Hanna!: Ketika Harapan Orang Tua Menjadi Beban Anak
Ia pun bertekad, ia harus segera keluar dari rumah.
Kemudian sebuah ide dan anggapan membuatnya memutuskan untuk menikah.
Agar situasinya berubah , lalu membantunya segera keluar dari rumah kemudian bisa menyelesaikan semua permasalahnya.
Arya ( Ibrahim Risyad ) , yang merupakan kakak tingkat di masa perkuliahan, menjadi jalan keluarnya.
Unsur keterpaksaan dan tidak adanya rasa cinta dari Hanna untuk Arya, menimbulkan sesuatu hal , akibatnya hal yang tidak diinginkan pun terjadi.
Arya memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Ini membuat luka di hati Hanna dan mungkin juga putra mereka, karena Arya melakukannya secara verbal, dengan melontarkan kata-kata yang tak pantas.
Kondisi tertentu lalu memaksa Hanna dan putranya memutuskan kembali ke Indonesia dan memulai hidup baru.
Walaupun dalam film ini dijelaskan bahwa Arya memiliki gangguan kesehatan mental yang mengarah pada autisme.
Namun nampaknya ini bukanlah menjadi sebuah alasan pembenar.
Film ini ingin menekankan akan hal ini, serta sebab akibat dari KDRT.
Kekerasan secara verbal dapat dialami perempuan, dan ini termasuk kategori KDRT.
Walaupun begitu terasa sekali bahwa film ini terlalu meluas dan sangat ringan, tidaklah sesuai dengan tema yang diusung.
Terasa sayang sehingga terasa sekali penonton terbelah menjadi dua bagian
Ada yang menyukai karena terasa ringan.
Namun ada pula yang merasa kesal karena dirasakan tema yang seserius ini, bukankah lebih tepat jika diberikan pengkhususan tersendiri.
Masalah KDRT bukanlah sesuatu hal yang dapat ditampilkan secara ringan, tanpa sebuah akhir yang baik.
Bahkan kehadiran Gani (Juan Bio One) disini terasa sebagai tempelan belaka, yang memberikan ruang “mimpi” Hanna.
Skenario yang ditulis oleh Swastika Nohara dan disutradarai Agung Sentausa ini memang tearasa dibawa terlalu luas dan juga meloncat – loncat.
Banyak hal yang kurang tereksplorasi , padahal termasuk masalah krusial.
Terasa juga adegan “romantis” agak dipaksakan dan membuat penonton tertentu merasa tidak puas dan beranggapan ini tak penting.
Namun bagi Cinemags, alasan hal ini ditampilkan secara lebih ringan, nampaknya karena tema semacam ini masih tabu.
Saat ini adalah era dimana , masalah sensitif sudah mulai dapat dibicarakan.
Namun alasan awal Hanna untuk menikah , untuk melepaskan diri dari sebuah masalah.
Ini sendiri adalah salah satu kekompleksan yang melibatkan penulis skenario menjadi semakin melebarkan penceritaannya dan tidak fokus.
Walaupun tujuannya mungkin agar ringan dan mudah ditonton.
Justru merusak isyu atau pesan penting yang hendak disampaikan.
Unsur ketabuan yang nampaknya membebani para penulis skenario, masih membuat film ini terasa masih setengah-setengah saja