Waititi mengambil langkah yang cukup berani menyangkut film bertema Nazi, pasalnya, baru kali ini kisah bertema Nazi datang tidak dari sudut pandang victim-nya (Yahudi), melainkan dari seorang pendukung Nazi berusia 10 tahun bernama Jojo Betzler (Roman Griffin Davis).
Dikisahnkan, Jojo kerap berkomunikasi bersama teman imajinernya, Adolf (Waititi) yang kerap membangkitkan jiwa patriotisme Nazi dalam diri Jojo. Ia tergabung ke dalam grup patriotik Deutsches Jungvolk (pemuda Jerman) dan diajari melempar granat, membakar buku, menikam pisau oleh Captain Klenzendorf (Sam Rockwell). Sisipan ‘Rabbit’ diembannya saat ia tidak tega membunuh seekor kelinci di depan rekan-rekan Nazi.
Jojo sangat memuja Hitler dan antusias mengikuti doktrin anti Jews yang digencarkan Jungvolk, namun yang tidak Jojo ketahui bahwa sang ibu, Rosie Betzler (Scarlett Johansson) ternyata menyembunyikan seorang gadis Yahudi di dalam gudang mereka.
Film yang diadaptasi dari novel Caging Skies karya Christine Leunens ini, aslinya mengisahkan seorang anak Jerman yang hidup dalam situasi perang dunia II. Ayah Jojo tidak pernah kembali dari pertempuran di front Italia, dan ia baru saja kehilangan kakak perempuan yang meninggal karena wabah flu, dalam kondisi seperti itu, ia pun melakukan semacam escape lewat ilusi Hitler dan patriotisme Nazi. Adapun penambahan tokoh imajiner datang dari ide sang sutradara yang sejatinya berdarah Yahudi- Maori.
Secara natural, Griffin Davis memerankan dengan baik problem yang dihadapi si tokoh utama, tidak susah bagi penonton untuk bersimpati pada karakternya yang jenaka meskipun diliputi tanda tanya dan kecemasan, situasi menjadi lebih menggelikan lagi setiap kali Jojo bertemu Yorki (Archie Yates) teman pramukanya. Untuk debutnya ini, Davis cukup layak mendapatkan nominasi di perhelatan bergengsi.
Sedangkan Johansson yang akhir-akhir ini bertransformasi dengan lebih sering memerankan sosok ibu, di satu sisi seperti mengubur sebagian jati dirinya di film-film dekade terdahulu, sementara di sisi lain tengah mengembangkan karakter tipikal ‘tough mom’, sayangnya akting Johansson kali ini bisa dibilang berlebihan dan kurang berkesan. Sebaliknya, Rockwell yang selalu identik dengan sifat slengean (bahkan saat memerankan kapten Nazi!) memerankan karakter kontradiktif yang meninggalkan kesan mendalam.
Para karakter pendukung memainkan porsinya dengan pas, termasuk Aktris pendatang baru asal New Zealand, Thomasin McKenzie sebagai gadis Yahudi (Elsa Korr), instruktur fasis wanita Fräulein Rahm (Rebel Wilson) yang brutal, serta kemunculan Stephen Merchant memerankan Captain Deertz dengan ekspresi kaku dan tubuh jangkungnya yang mengintimidasi, sedangkan Alfie Allen sebagai cameo (Finkel) hanya terkesan sebagai bumbu konyol-konyolan belaka, peran konyol memang lebih cocok disandangnya paska memerankan Theon Greyjoy.
Berbeda dari kebanyakan film Nazi yang mencekam, komedi satir ini mampu memancing tawa meskipun beberapa scene terbilang gelap dan sedih, film ini juga membuat kita menyadari bahwa situasi perang (khususnya di jaman seputaran Nazi) tidak hanya berdampak bagi orang-orang Yahudi, namun masyarakat Jerman sendiri.
Secara keseluruhan, inti ceritanya adalah mengenai kepolosan anak kecil yang tidak memiliki ide bahwa rasisme dan Nazi itu salah, sama seperti anak kecil umumnya yang gampang dibentuk untuk menjadi fanatik, tapi kemudian Jojo mendengarkan kata hati. Pada akhirnya, Jojo hanyalah seorang anak yang menikmati kebersamaan bersepeda bersama ibunya dan menumbuhkan rasa peduli pada manusia lain, meskipun pada seorang Yahudi.
Konsep ceritanya sederhana, namun film yang telah dipersiapkan sejak 2011 ini dikemas tanpa menimbulkan rasa bosan bagi penontonnya. Selalu terdapat hal yang konyol, menegangkan, juga sedih. Dialognya jenaka, dan gambar berpalet eye-catchy akan mengingatkan audiens pada film ala Wes Anderson. Waititi mengungkapkan dalam resetnya mengenai Jerman masa WWII, dimana kota-kota dan penduduk di negara itu terlihat kaya warna dan fashionable, berbeda dengan apa yang ditampilkan film perang umumnya dengan vibra warna cenderung gelap dan dingin, ia menginginkan para karakternya terlihat berwarna dan penuh gaya; “semua terlihat berwarna dan bahagia, padahal kekuasaan Hitler pelan-pelan runtuh, and, you know the dream, is over.”
Satu hal yang membuat film ini terkesan kurang afdol hanyalah perihal bahasa, dimana tokoh-tokoh Jerman berbicara satu sama lain tidak dalam bahasa ibu mereka, meskipun tampaknya ini menjadi cukup lazim untuk semua film Nazi keluaran Hollywood.
Satu lagi, Waititi juga apik memasukan soundtrack pop seperti Beatles dan Bowie dalam cover berbahasa Jerman. Di awal film, The Beatles menghantarkan penonton pada euphoria mengikuti spirit si tokoh utama, dan ending film (Spoiler Alert!), audiens akan mendengar soundtrack Helden (Heroes) dalam bahasa Jerman, disandingkan dengan penggalan quote dari penyair Jerman termasyhur yang menjadi suatu penutup sempurna.
Sebagai catatan, “Heroes” merupakan lagu Bowie yang mengisahkan dua kekasih terpisah oleh tembok Berlin, Bowie memainkan Heroes di Tembok Berlin pada tahun 1987. Ia mengatakan bahwa performanya di tembok Berlin adalah hal yang paling emosional dan tidak akan pernah terlupakan. Saat itu, tembok Berlin menjadi background panggung dan ribuan warga Berlin Timur dibalik tembok turut menyanyikan lagu ini dari jarak jauh.