Jika kebanyakan film horor konvensional menggantungkan pada kekuatan jeritan hasil dari parade jump scare, musik dan penampakan-penampakan mahluk jahat yang mengerikan dengan hanya menawarkan sedikit lapisan cerita yang dalam maka bersiaplah menyambut The Witch garapan sutradara debutan Robert Eggers yang bisa dibilang sedikit berbeda.
Tidak butuh waktu lama buat The Witch untuk bisa langsung menarik penontonnya masuk ke dalam sebuah dunia yang dingin, kusam dan misterius. Mengambil set di New England era 1630-an, satu keluarga religius yang terdiri dari pasangan suami istri dan keempat anaknya harus terbuang dari kelompoknya karena perbedaan pandangan, mereka kemudian memilih untuk hidup menyendiri di pinggir hutan terpencil yang tanpa sepengetahuan mereka ternyata angker karena dipercaya sebagai tempat bersemayam seorang penyihir jahat.
Memang premisnya terdengar simpel dan generik. Tema penyihir dan kutukan memang bukan sesuatu yang asing lagi di dunia horor, lihat saja yang paling saya ingat seperti Drag Me to Hell garapan Sam raimi yang mengambil pendekatan lebih jenaka, tetapi The Witch milik Eggers sendiri tidak memberi ruang sedikit pun untuk tawa, ia menyedot semua kebahagiaan dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih gelap, lebih depresif dari cerita rakyat Inggris lama bersamaan dengan sajian gambar-gambar mengganggu yang siap menghantuimu bahkan setelah credits muncul.
Kekuatan film The Witch adalah bagaimana Eggers mampu membangun dunianya dengan sangat-sangat kelam sejak menit-menit pertama. Pemilihan palet warna kelabu mendominasi visualnya, dikombinasikan dengan scoring garapan Mark Korven yang menyayat menghasilkan aroma suram pekat. Sementara pergerakan kameranya yang sepelan alur ceritanya sendiri menghasilkan efek ‘tersiksa’ tersendiri, lihat saja ketika Eggers menyorot satu pohon di hutan gelap itu, seperti tengah memperlihatkan bahwa ada ancaman besar dari dalam sana yang siap menunggu keluarga malang itu.
The Witch punya lapisan yang rumit ketimbang horor konvensional lain dan perlakukan semi art house yang pelan bersama segala dialog-dialog berdialek religi mungkin akan membuat sebagian penontonnya tak nyaman menikmatinya, tetapi ia tidak lantas menjadi absurd dan tanpa kepastian. Satu hal yang pasti bahwa teror penyihir hutan itu ada, bisa kita lihat bagaimana sosok tua mengerikan itu melakukan ritual-ritual seram di sarangnya, masalahnya keluarga William (Ralph Ineson) tidak pernah melihatnya sendiri meski mereka tahu persis ada sesuatu di dalam hutan sana yang membuat hasil panennya busuk dan membuat keluarganya menderita.
Bersama istrinya, Katherine (Kate Dickie), keempat anak-anaknya, Thomasin (Anya Taylor-Joy), Caleb (Harvey Scrimshaw) dan si kembar Mercy (Ellie Grainger) dan Jonas (Lucas Dawson), William hanya bisa berlindung pada fanatisme agamanya. Tetapi teror dari hutan tampak tidak bisa dibendung. Perlahan namun pasti keluarga William mulai terpecah belah, krisis kepercayaan mulai melanda menghancurkan bersama kejadian-kejadian aneh di luar akal sehat.
Thomasin menjadi karakter yang paling menderita di sini. Dengan status sebagai anak tertua, anak perempuan pula, ia terjebak dalam situasi pelik di keluarganya. Di satu sisi Thomasin yang tengah beranjak dewasa bisa menjadi jalan keluar dari keadaan keluarganya yang mengalami kesulitan dengan menjodohkannya kepada putra keluarga lain, tetapi kita tahu Thomasin tidak menginginkan itu yang kemudian membawanya ke situasi lebih buruk lagi ketika ia mulai disalahkan atas kejadian-kejadian yang menimpa keluarganya. Yang menarik, Eggers turut menyelipkan elemen coming of age di dalamnya dengan segala pergolakan batin Thomasin dan Caleb, sesuatu yang mungkin terasa aneh untuk sebuah genre horor namun nyatanya ia mampu bersinergi dengan baik dengan plot utamanya, menjadikan The Witch sebagai horor yang tidak hanya menakutkan dengan segala aroma hitam pekat dan premis penyihirnya namun juga bagaimana elemen psikologisnya bermain dengan cantik.