Sebelum membahas perihal Munich: The Edge of War lebih lanjut, sudah bukan rahasia lagi untuk segi tanah tontonan, Perang Dunia II adalah yang paling sering diangkat dalam film-film drama aksi perang. Mulai dari Saving Private Ryan yang epik dan intens, hingga ke Downfall dan Schindler’s List yang traumatis, bahkan mini-seri Band of Brothers ibarat membuktikan bahwa Perang Dunia II mungkin merupakan satu-satunya perang yang sepertinya tidak pernah bosan disaksikan oleh audiens.
Sejatinya, gambaran perang itu sendiri bisa dikatakan tidak pernah berubah. Bahkan jika kita berbicara mengenai konteks formula penuangan Perang Dunia II yang dituangkan di pelbagai film layar lebar sekalipun apapun genrenya. Pun juga yang disajikan dalam film drama fiksi sejarah ini.
Satu perihal yang tidak bisa dibantah adalah melalui Munich: The Edge of War, audiens dibawa kembali ke masa Perang Dunia II namun kali ini di saat sebelum malam pertempuran. Adapun yang dikedepankan di sini adalah dua tahun sebelum kejadian yang dituangkan dalam film The Darkest Hour yang dirilis pada tahun 2017, bagi mereka yang tertarik untuk mengetahuinya.
Pada saat itu Jerman tengah berdiri di ambang perang. Dipicu dengan makin meningkatnya kekuasaan Hitler, pimpinan Nazi ini mulai berencana untuk menyerang Cekoslowakia (sekarang Republik Ceko-red). Pemerintah Inggris kala itu dipimpin oleh Neville Chamberlain (Jeremy Irons), yang berupaya sangat keras mencari solusi damai agar bisa menghindarkan Inggris ikut terjun dalam perang besar yang oleh banyak orang dianggap tidak bisa dihindari ini.
Di tengah-tengah konflik ini terdapat dua mantan teman sekelas – pejabat sipil Inggris bernama Hugh Legat (George MacKay) dan diplomat Jerman bernama Paul von Hartman (Jannis Niewöhner). Kedua orang ini pergi ke Munich sebagai dua kubu yang berseberangan untuk melakukan pembicaraan dan mencari jalan damai guna menghentikan perang sebelum meluas ke Eropa.
Sebagaimana sudah terungkap dalam sejarah, cerita ini tidak memiliki akhir yang bahagia dan ini menjadi fokus utama yang disajikan dalam Munich: The Edge of War. Film sejarah ini memiliki drama yang gamblang, debat politiknya intens namun karena sudah begitu dikenalnya periode sejarah ini, membuat sajiannya mudah diprediksi.
Munich: The Edge Of War disutradarai oleh Christian Schwochow dan berdasarkan novel Robert Harris berjudul Munich dan diadaptasi oleh Ben Power. Harris menggunakan lisensi kreatifnya untuk memanipulasi peristiwa sejarah dan film mengikutinya. Ini mungkin merusak pandangan penggemar sejarah tentang Munich: The Edge Of War, yang perlu mengesampingkan akurasi sejarah.
Pemeran dan penampilan yang kuat mendorong film ini. Para pemain terkemuka MacKay, Niewöhner, dan Irons memberikan penampilan yang penuh semangat selama masa tegang dalam sejarah ini. Sayangnya, Legat MacKay adalah yang paling pemalu di grup dan penampilannya dibayangi, terutama oleh Niewöhner. Von Hartman adalah karakter berkemauan keras dan menempatkan semua keyakinannya yang Niewöhner berikan dengan sempurna. Sementara pertunjukan dapat mendorong film, ‘thriller mata-mata’ ini tidak memiliki spionase dan sensasi. Film ini menyeret pada poin yang tidak benar-benar menggambarkan dampak historis dari para pemainnya.
Desain produksinya brilian, kostumnya akurat dan ada skor musik yang benar-benar menyeramkan dan bersahaja yang lumayan efektif mengeskalasi adegan di film ini. Sayangnya hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk pekerjaan kamera, di mana untuk ukuran film genre ini, camera work nya terasa agak berlebihan dan sedikit mengganggu.
Di luar penampilan Jeremy Irons yang menjadi personifikasi Neville Chamberlain dan beberapa adegan pertemuan yang menegangkan di paruh akhirnya, tidak banyak hal lain di sini yang benar-benar menonjol. Tapi, jangan salah paham, secara overall film ini menarik untuk disaksikan, terutama bagi kalangan yang menyukai tipe film-film drama sejarah terutama yang berkenaan dengan masa Perang Dunia II.
Munich: The Edge of War dapat disaksikan secara streaming di Netflix