Resensi Dear Nathan: Thank You Salma oleh Mary Rizka Veliestya
Dear Nathan: Thank You Salma, adalah sebuah film garapan Rapi Films dan kerja samanya dengan Screenplay Films, sukses mengadaptasi buku tulisan Erisca Ferbiani dengan judul yang sama.
Film ini adalah penutup trilogi Dear Nathan yang dirilis tahun 2017. Menariknya Thank You Salma menjadi film ke-empat yang disutradarai oleh Kuntz Agus yang sebelumnya menggarap Surga yang Tak Dirindukan (2015), Petualangan Menangkap Petir (2018), Republik Twitter (2012) dan beberapa seri web di berbagai platform streaming.
Kuntz Agus berhasil mendapat nominasi film pendek terbaik di ajang Piala Citra pada tahun 2010. Rapi Film
mengambil resiko tersendiri untuk mempekerkerjakan sutradara baru yang menggantikan Indra Gunawan, Sutradara dua film sebelumnya. Resiko ini terbayarkan karena reaksi fans di bioskop yang berseru dan berteriak pada beberapa adegan krusial dan romantis. Dear Nathan: Thank You Salma akan tayang pada tanggal 13 Januari 2022.
Film ini sangat terkesan berbeda dari Hello Salma dan Dear Nathan, para karakter mulai memasuki babak kehidupan selanjutnya dan mereka berada di bangku perkuliahan. Konflik cerita yang ditawarkan juga lebih dewasa dan sangat mencerminkan dunia perkuliahan.
Bagus Bramanti dan Gea Rexy sebagai penulis naskah membawa tema ativisime dan membalurnya dengan kisah percintaan yang sangat melekat dengan trilogi ini.
Salma berhasil masuk Jurusan Sastra di kampus impiannya, Nathan juga menjadi mahasiswa yang sangat aktif berpartisipasi dalam aktivisme. Keduanya memliki prespektif berbeda mengenai aktivisme, Nathan yang lebih suka turun ke jalanan dan Salma lebih memilih untuk melakukan aktivisme digital. Hal ini membuat hubungan mereka menjadi rengang karena Salma takut bila Nathan akan terluka.
Pada pertengahan film Zanna, teman sekelas Nathan, mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa kampus. Nathan akhirnya harus membantu Zanna dan memperbaiki hubungannya dengan Salma.
Tema aktvisme dan romansa sangat berani diulas oleh Bramanti dan Rexy, tidak tanggung-tanggung film ini terasa memiliki dua suasana yang identitasnya sedikit berbeda, tetapi Agus dan para penulis naskah sangat berani mengambil tema kekerasan seksual. Kasus pelecehan seksual di Indonesia belakangan ini menjadi topik hangat yang dibicarakan dan para pelakunya juga adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan di suatu
institusi, apalagi institusi pendidikan.
Film ini sangat relevan dan mampu mengadaptasi dua suasana tersebut agar tidak terlalu saling bertabrakan, walau ada beberapa adengan yang memiliki suasana berbeda dan terkesan sedikit kasar ketika mereka disatukan, film tidak memberikan cukup waktu bagi penonton untuk ‘bernafas’ karena setelah sebuah adegan sedih dan penonton tiba-tiba dibuat tertawa lagi.
Namun, sutradara, editor dan penulis tetap berhasil menyampaikan pesan mereka dan menyatukan dua tema besar penting ini. Keberanian penulis dan sutradara juga terlihat dengan menyuguhkan adegan-adegan eksplisit, yang mengoyakkan hati penonton. Para penonton akan marah, sedih dan ikut menangis ketika menonton film ini, karena kisah yang diceritakan merupakan kisah nyata para korban, apalagi mengenai kekerasaan seksual di kampus dan dampaknya kepada korban. Aktivisme sebagai tema juga dijahit dengan manis, memperlihatkan bentuk idealisme mahasiswa yang sering mengikuti aksi demo juga menjunjung tinggi keadilan,tema yang dibawakan juga sangat cocok dengan karakter-karakter yang semakin dewasa.
Romansa masih menjadi daya tarik dari Dear Nathan, tetapi para pembuat film ingin memberikan pesan yang lebih dari kisah percintaan remaja dan ini menjadi daya tarik Dear Nathan dari film remaja lainnya.
Alur awal film berhasil dikemas dengan baik oleh Kuntz Agus, menunjukan Salma yang terlihat antusias untuk memasuki perkulihannya, beberapa adengan juga ditangkap dengan baik penggunan one take untuk sebuah adegan saat Ibu Salma membantu Salma pindahan, pengambilan adegan ini menarik dan kreatif. Selain itu direksi Agus juga membawa adegan aksi ketika Nathan bertengakar dengan teman-temannya, diambil dengan sangat baik.
Para pemain juga membawa pesona kedalam film ini, kedekatan mereka sangat baik dan membuat film menjadi tidak membosankan. Mereka saling melengkapi dan membawa film menjadi lebih berwarna. Saya harus mengapresiasi Karina Suwandhi sebagai Ibu Salma, yang terlihat bersinar ketika ia masuk kedalam adegan dengan humor ciamik yang tidak terkesan murahan, aktris legendaris ini tentu kita kenal lewat film-filmnya seperti Lupus II (1987) dan juga dikenal dalam sinetron Warkop Millenium (1995-2001).
Indah Permata Sari (si Manis Jembatan Ancol) juga mehadirkan performa kuat, memerankan Zanna tentunya menjadi tantangan tersendiri karena emosi yang harus disampaikan lewat layar kaca.
Indah mengungkapkan saat Konferensi Pers Dear Nathan: Thank You Salma bahwa , Karakter Zanna sebenarnya merefleksikan kehidupan Indah yang juga pernah dilecehkan saat dia kecil sehingga tidak sulit baginya untuk memerankan karakter ini. Zanna juga adalah karakter impian Indah karena dari karakter ini, sang aktris ingin merepresentasikan para korban selain itu memberikan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk tetap berjuang bagi hak-hak mereka.
Perfoma lain seperti pendatang baru di industri perfilman sebagai aktor film, Ardhito Pramono juga meninggalkan kesan positif. Pramono memerankan karakter romantis dan kedekatannya dengan Amanda Rawles juga membuat para pentonton terenyuh akan kemanisan dari keduanya.
Ardhito memerankan Afkar, seorang penyanyi musik indie yang sangat puitis, karakternya tidak terlalu jauh dari Ardhito yang dikenal oleh penonton. Ardhito juga baru menjadi aktor dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini (2020). Sebelumnya memproduksi dan menulis lagu, karyanya I Just Couldn’t Save You Tonight berkolaborasi dengan Aurélie Moeremans untuk soundtrack film Story of Kale (2020) telah disaksikan 14 juta pasang mata di Youtube. Ardhito sendiri tertarik untuk bergabung di Dear Nathan karena pengalamannya yang pernah mengalami pelecehan seksual.
Hal menarik yang perlu diperhatikan juga adalah keakraban Nichol dan Pramono sebagai karakter masing-masing, awalnya saya mengira film ini akan mengambil alur cerita cinta segitiga yang klise, dimana ada saingan baru Nathan, ternyata keduanya memiliki hubungan perhabatan yang unik.
Jefri Nichol (Nathan) dan Amanda Rawles (Salma) sudah tidak perlu lagi mempertanyakan kedekatan mereka sebagai sepasang kekasih di film ini, mereka tetap menjadi pemeran utama dalam film dan memiliki masalah seperti sepasang kekasih lainnya akibat dari kurang berkomunikasi tentang masalah pribadi yang mereka hadapi.
Susan Sameh yang terakhir kali muncul sebagai Vania dalam film Bucin (2020), juga memberikan performa kuat sebagai karakter pembantu, Karakter Rebecca berperan penting menjadi sahabat Zanna di dalam film. Rebecca yang mengalami depresi dalam seri kedua film Dear Nathan, membawa pendewasaan karakter yang kuat untuk karakter ini dan diperankan dengan sangat baik oleh Susan.
Dear Nathan: Thank You Salma memiliki keberanian dengan mengangkat tema penting yang cukup berat, membuat film ini mengajarkan penonton untuk memahami lebih jauh tentang pelecehan seksual terhadap perempuan. Film berhasil menjajarkan alur dua tema, yaitu romansa dan aktivisme dengan baik dan sangat relevan dengan pendewasaan karakter yang telah memasuki dunia perkuliahan sangat mencerminkan jiwa idealis mahasiswa. Selain itu, jajaran pemain yang bertalenta dan memiliki keakraban di layar membuat film ini menjadi semakin berwarna.
(editor: Nuty Laraswaty)