Bisa dikatakan berawal dari tahun 2000, kelapa sawit seolah menjadi potensi baru bagi pemilik bisnis, menjanjikan keuntungan luar biasa. Hal ini kemudian menggerakkan banyak pengusaha yang mulai memikirkan untuk berinvestasi atau membuka pabrik yang berfokus mengolah kelapa sawit. Untuk lahan, sangat banyak tersedia di pulau-pulau yang tersebar di Indonesia, baik itu merupakan tanah pribadi, tanah negara maupun tanah adat.
Berbicara mengenai tanah adat, maka mengacu pada perundangan yang berlaku di Indonesia , maka hak atas tanah adat itu diakui, namun karakteristik keabstrakkan dalam definisinya menimbulkan banyaknya peraturan turunan baru yang masih juga abstrak, ataupun satu sama lain saling bertentangan. Jika peraturan yang dibuat ternyata bertentangan, otomatis yang hierarki nya lebih tinggi lah yang lebih kuat . Paling tidak itulah teorinya , hingga film Bara (The Flame) pun menceritakan lain dari sudut pandang Iber Djamal sebagai penduduk asli Kalimantan yang mempertaruhkan sepanjang hidupnya untuk mendapatkan hak waris hutan adatnya.
Baca juga :Film Dokumenter “The Flame” Ungkap Kisah Perjuangan Pria Lanjut Usia Yang Berupaya Melindungi Hutan Adat Di Kalimantan
Film dokumenter ini mengajak penontonnya untuk hadir kedalam masyarakat asli Kalimantan yang lekat dengan alam. Mereka dikatakan hidup bersama alam, mendapat sumber penghasilan dengan membudi dayakan hutan yang berada di sekelilingnya dan memahami bahwa keseimbangan harus diperhatikan.
Namun hidup di Indonesia , masalah pengurusan sertifikat tanah, dapat dikatakan bisa mulus bisa rumit. Mulus jika bidang tanah tersebut memang diperuntukkan untuk pemukiman penduduk,pusat pemerintahan dan bisnis. Namun rumit jika menoleh ke lahan yang luas dan “tak bertuan” .
Tanpa bermaksud menyudutkan badan pertanahan nasional, memang dalam semua lini nampaknya akan ada oknum-oknum yang bermain dalam ketidakpastian ini. Hal inilah yang tersirat dari dialog yang disampaikan oleh Iber Djamal dengan masyarakat , maupun unsur terkait .
Iber Djamal berjuang di tengah ketidak pedulian orang-orang di sekeliling , untuk mendapatkan perhatian akan hak tanah adat yang ia perjuangkan. Motonya adalah apabila tanah adat ini diambil, dari manakah penduduk yang telah bertahun-tahun memenfaatkan hutan ini bisa mendapatkan kebutuhan untuk tetap hidup? Bukankah mereka hidup berdampingan dengan alam?
Modernisasi terlihat juga telah masuk ke dalam wilayah lingkungan Iber Djamal , ini pula yang menyebabkan bergesernya tatanan kehidupan. Namun sosok Iber Djamal yang tetap berjuang untuk mempertahankan tanah adat ini , merupakan pelita bagi lingkungan sekitarnya.
Pada akhirnya, setelah mendapatkan bantuan dari teman-teman LSM, berupaya memahami keabstrakan perundangan dengan menjabarkannya menjadi sesuatu yang lebih konkret, maka upaya Iber Djamal pun membuahkan hasil. Namun itu semua , bukan tanpa pengorbanan, Iber Djamal kehilangan sebagian tanahnya sendiri.
Dalam kemenangan yang bercampur kepedihan inilah, sosok Iber Djamal menyuarakan , ‘”tak mengapa saya kehilangan tanahku, asal tanah adat itu dapat bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekelilingnya”.
Namun tidakkah hal ini kembali seakan menohok bagi orang-orang yang masih punya hati nurani ? Haruskah perjuangan seseorang demi kemaslahatan orang banyak , dikecilkan demi kepentingan bisnis belaka? Serta tidakkah hal ini memberikan rasa malu bagi masyarakat yang seakan cuek , acuh akan hal-hal ini?
Semua perjuangan ini dapat disaksikan pada film Bara atau juga disebut The Flame , namun sebelumnya cek terlebih dahulu trailernya