Dengan skala konflik yang bisa dikatakan lebih besar dari yang dihadirkan sebelumnya, WW 1984 seakan menjadi ajang penegasan kualitas Patty Jenkins. Bahwa ia adalah sineas wanita jempolan yang berharga untuk kesuksesan kubu film superhero DC ke depannya dan bisa bersinergi baik dengan Zack Snyder. Dan, setelah melihat hasil arahannya di film sekuel WW ini, tidaklah mengherankan jika Jenkins menjadi lirikan banyak studio besar Hollywood, yang membuatnya digamit untuk mengarahkan film babak terbaru Star Wars, meski track record penyutradaraannya sangatlah minim. Mengapa berani dikatakan demikian? Sebelum membahas lebih lanjut mari kita simak terlebih dahulu garis besar kisah WW 1984.
Menggulirkan babak kehidupan pasca yang dituangkan di film pertamanya, Diana diceritakan masih menjalani kehidupan di dunia manusia, membantu mereka yang membutuhkan atau bilamana ada tidak kejahatan,dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai Wonder Woman, sedangkan untuk rutinitasnya ia bekerja sebagai staf ahli di museum Smithsonian yang menerima kiriman beragam artifak maupun peninggalan berharga dari seluruh peradaban manusia.
Suatu hari museum Smithsonian menerima barang bukti berupa artifak kuno misterius. saat itulah ia pertama kalinya berjumpa dengan Barbara Minerva, staf rekrutan baru ahli sejarah benda kuno dan juga Maxwell Lord, seorang pebisnis spekulan di bidang bisnis jual beli minyak.
Dari situlah berawal konflik kompleks berskala sangat besar di mana mereka semua terkait, yang menghadirkan tantangan sangat berat bagi Diana sebagai Wonder Woman. Karena kali ini tidak hanya untuk mencegah dunia dari kehancuran global dan kemusnahan umat manusia, namun juga membuatnya harus mengambil pilihan yang paling berat dalam hidupnya,untuk bisa mengatasi tantangan ini.
Sangat menarik cara Patty Jenkins dalam mengemas WW 1984 adalah kesimpulan awal yang terbersit di kepala usai menyaksikan sajian film layar lebar aksi kedua solo Wonder Woman ini. Pasalnya, di sini gaya penyutradaraan Jenkins tidak ubahnya seperti gaya penyutradaraan Snyder di Man of Steel. Begitu banyak spektrum kisah dihadirkannya kali ini.
Sejalan dengan aspek komersial setting waktu yang dikedepankannya di sini, Jenkins seakan menyajikan sebuah film bergaya 80an alih-alih film bersetting tahun 1980an. Hasilnya, arahannya di sini menghadirkan kesan terasa familier di banyak adegannya. Entah itu mengingatkan pada adegan-adegan di film superhero lainnya (seperti Superman 1978, the Dark Knight, Man of Steel, maupun Wolverine –red) atau sekadar nostalgia pada era tersebut, yang jelas itu yang berbekas di benak.
WW 1984 berisikan banyak detail yang akan memuaskan kalangan fans komiknya (meski dihadirkan dalam interpretasi bebas sang sineas-red) dan memiliki beberapa adegan aksi yang meski tidak ada yang bisa mengulang level keepikkan sesi No Man’s Land di film pertamanya, tetap bisa dibilang memukau.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, banyak kepingan kisah yang dihadirkannya kali ini. Dan, sementara sang sineas berusaha sebaik-baiknya untuk mengeksekusi setiap kepingnya, ada yang kentara di mana ia terasa kerepotan, seperti di bagian final act-nya yang terkesan diburu-buru, padahal di bagian sesi awal hingga paruh kedua pacenya terhitung lambat. Pun juga dengan durasinya yang mencapai kisaran 150an menit, sedikit terlalu lama dan editing penyajian adegan per adegannya ada beberapa yang kurang mulus.
Dari segi jajaran pemainnya, duo Gal Gadot dan Chris Pine makin membuktikan chemistry apik keduanya yang sudah terjalin di film pertamanya. Sementara, Pedro Pascal tampil memukau sebagai Maxwell Lord dan Kristin Wiig bisa membawakan peran Barbara Minerva/ Cheetah dengan baik.
Adapun yang paling menonjol dari WW 1984 dari sisi titik berat pribadi penulis sendiri adalah sesi dramanya. Betapa sebenarnya di balik kisah aksi superheronya, sejatinya ini adalah chapter kisah Wonder Woman yang getir pun menyentuh. Dan, itu berhasil disajikan dengan baik oleh Jenkins, meski proses menuju ke sana mungkin terasa agak tidak mulus dan konklusi yang rasanya banyak audiens akan merasa tidak puas.
Poin plus lainnya adalah bahwa tema yang dikedepankannya, yang mengusik apa yang paling diinginkan setiap orang / mengubah keadaan notabene sangatlah signifikan dengan situasi dunia saat ini, di mana pandemi yang membawa efek dahsyat ini pasti membuat banyak orang berandai-andai punya pilihan untuk mengubah situasi ke keadaan sebelum terjadinya pandemi ini atau berharap pandemi ini tidak penah ada, tanpa memikirkan bahwa setiap kejadian pasti ada alasannya.
Secara keseluruhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, melalui WW 1984 sekali lagi Patty Jenkins berhasil menyuguhkan sebuah film superhero yang berkualitas. Yang tidak hanya mampu mengukuhkan nilai hope, compassion, trust, and faith di film pertamanya, namun juga tema signifikan dan relevan untuk situasi sekarang yang membuat film ini solid sebagai salah satu film paling berkualitas di tahun 2020 ini.