Film Semesta karya Tanakhir Films, sebuah rumah produksi yang telah memproduksi dokumenter seperti Save the Forest Giants (2016), The Woven Path (2019), dan Perempuan Tana Humba (2019) , hard ini tayang di bioskop Indonesia Mandy Marahimin
Fokus utama film Semesta tentang perubahan iklim, unsur pemberdayaan perempuan dan community development juga menjadi salah satu kisah yang diangkat.
Sejak awal penggarapannya, Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra selaku pendiri Tanakhir Films merangkap produser film ini mempersiapkan Semesta menjadi tayangan dokumenter yang berbeda.
Tidak semata karena keterlibatan orang-orang di belakang layar yang selama ini banyak terlibat dalam penggarapan film fiksi panjang di bioskop, tapi juga dari sudut pandang penceritaan.
Hal tersebut ditegaskan oleh sutradara Chairun Nissa.
“Kami sepakat membuat film tentang perubahan alam yang bukan sekadar mendokumentasikan, tapi juga ada cara bertutur yang puitik, dan ada story yang kami coba bangun dari setiap lokasi atau sosok ini,” ujarnya.
Mereka yang menjadi sosok protagonis dalam film ini dipilih setelah melalui proses riset.
Pertama Tjokorda Raka Kerthyasa, tokoh budaya di Ubud, Bali.
Bersama segenap umat Hindu menjadikan momentum Hari Raya Nyepi sebagai hari istirahat alam semesta. Sebab posisi Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca yang berkontribusi tinggi terhadap pemanasan global.
Dihentikannya penggunaan listrik, transportasi, dan industri selama satu hari selama Nyepi ternyata memberi efek luar biasa dalam pengurangan emisi harian di Bali.
Lalu ada Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat, yang memastikan pentingnya penduduk desa memahami dan mengikuti langkah tata cara adat dalam melindungi dan melestarikan hutan.
Sebab dengan cepatnya deforestasi, hanya tata cara masyarakat adat dalam mengelola hutan yang menjadi harapan terbaik terhadap perlindungan hutan. Bagi masyarakat hutan adat di Dusun Sungai Utik, tanah adalah ibu, sementara air adalah darah. Makanya perlu dijaga dari segala ancaman kerusakan.
Berlanjut menemui Romo Marselus Hasan, Pemimpin Agama Katolik di Bea Muring, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang menyelipkan pesan kepada para jemaatnya untuk berdamai dan menjaga pelestarian alam, terutama sumber mata air.
Desa Bea Muring belum dialiri listrik, sehingga masyarakat terpaksa menggunakan generator untuk sumber listrik mereka. Namun generator tidak hanya bising, tapi juga mengeluarkan emisi yang berbahaya bagi alam. Tujuh tahun lalu, bersama warga di sana, Romo Marselus secara mandiri membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro, yang notabene merupakan sumber listrik yang berkelanjutan dan bersih.
Walaupun fokus utama film SEMESTA tentang perubahan iklim, unsur pemberdayaan perempuan dan community development juga menjadi salah satu kisah yang diangkat. Ini tercermin lewat pemilihan Almina Kacili, Kepala kelompok wanita gereja di Kapatcol, Papua Barat.
Bersama ibu-ibu anggota kelompoknya, Almina Kacili membantu penyeimbangan alam melalui “Sasi”, sebuah tradisi kearifan lokal yang menjaga keberlangsungan sumber daya alam dengan melindungi wilayahnya dari eksploitasi, terutama oleh nelayan-nelayan yang menggunakan peralatan ilegal.
Protagonis selanjutnya yang menempati wilayah paling barat Indonesia adalah Muhammad Yusuf. Sehari-hari ia menjadi imam di Desa Pameu, Aceh. Dalam setiap kesempatan tak henti ia memperingatkan penduduk untuk berdamai dengan alam, termasuk ketika memberikan khutbah di masjid.
Hal yang mendorongnya memperingatkan masyarakat lantaran melihat praktik penebangan hutan yang merupakan salah satu faktor yang mempercepat terjadinya pemanasan global. Ini berdampak pula pada rusaknya habitat alami gajah liar.
Akibatnya gajah-gajah yang sudah tak mempunyai rumah tersebut memasuki daerah permukiman warga. Konflik antara gajah liar dan masyarakat pun banyak terjadi di sepanjang hutan di pulau Sumatera.
Penonton kemudian akan diperkenalkan dengan figur Iskandar Waworuntu yang bertahun-tahun lalu memutuskan hijrah dari kehidupannya dahulu dan hidup dari sebidang tanah kering, sebuah tempat yang ia beri nama Bumi Langit.
Melalui komitmen untuk menjalani praktik thayyib, Pak Is —demikian sapaannya— dengan dukungan keluarganya menggunakan ilmu permakultur untuk berhubungan kembali dengan alam. Mereka membuka pintu bagi siapa saja untuk belajar dan berbagi di Bumi Langit dalam menyebarkan pemahaman untuk secara sadar kembali pada kebaikan.
Perjalanan Semesta berakhir dengan kehadiran Soraya Cassandra, petani kota pendiri Kebun Kumara, Jakarta. Melalui sebuah kebun yang ia kelola di pinggiran ibukota, Sandra melakukan kampanye prinsip-prinsip belajar dari alam yang secara kreatif mengubah tanah di kota menjadi hijau kembali.
Dalam membangun kisah dari setiap tokoh atau lokasi tadi, sutradara Chairun Nissa yang juga akrab disapa Ilun ini tetap memakai struktur penceritaan tiga babak. Jadi para penonton tetap akan mendapatkan bagian pengenalan, permasalahan, dan penyelesaian seperti yang biasanya dijumpai dalam film fiksi.
“Untuk sudut pandang, kami mencoba mengulik hal-hal ringan yang kita semua bisa lakukan dalam keseharian. Tujuannya agar penonton juga bisa memilih mempraktikkan bagian mana yang paling dekat dengan keseharian mereka,” tambah Ilun.
Dilanjutkannya bahwa pendekatan kreatif tadi sangat diperlukan agar pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini dapat dengan mudah dimengerti oleh para penonton dari berbagai kalangan. Selain itu untuk menghindarkan film SEMESTA menjadi tontonan dokumenter yang menakutkan, terlebih ketika praktik merawat alam Indonesia dihubungkan dengan pendekatan agama dan budaya.
Pemanasan global karena ulah manusia yang mengakibatkan kerusakan dalam banyak aspek kehidupan seharusnya dipandang sebagai tanggung jawab semua orang. Sudah sepatutnya juga setiap orang berkontribusi dalam merawat alam.
Berdasarkan pengalamannya menjelajahi berbagai daerah di Tanah Air, Nicholas Saputra yang juga dikenal publik sebagai aktor mengungkapkan krisis ekologi di Indonesia sudah semakin mengkhawatirkan.
“Makanya penting untuk menjaga kondisi alam kita sekarang juga,” sambung Nicholas Saputra
Ditambahkan Mandy Marahimin, berbagai istilah seperti perubahan iklim, pemanasan global, dan lain-lain jangan sampai membuat kita jadi apatis melakukan sesuatu untuk lingkungan sekitar.
“Tidak selalu harus butuh langkah-langkah besar pula untuk mengatasi kondisi tersebut. Film ini menunjukkan bahwa langkah-langkah kecil yang kita lakukan juga bisa memberikan dampak besar untuk merawat dan melestarikan alam Indonesia,” kata Mandy Marahimin.
Hal tersebut tampak dari aktivitas merawat alam dan lingkungan yang dilakukan oleh tujuh protagonis dalam film ini. Semuanya merupakan kegiatan sederhana. Siapa pun, tanpa memandang umur, status, agama, dan tempat tinggal bisa melakukannya dalam keseharian.
Film Semesta mendapatkan dukungan penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dan juga dari sponsor-sponsor: Bank Mandiri, The Body Shop, Mitsubishi Motors, dan Kemitraan.
Kehadiran film yang akan tayang terbatas di bioskop mulai 30 Januari 2020 diharapkan tak hanya menjadi pengingat sementara, tapi juga memantik gerakan menjaga dan memelihara alam yang berkesinambungan. Demi masa depan kita semua. (cinemags/NutyLaraswaty)