Penantian panjang menyaksikan akan bagaimana sajian Justice League besutan sutradara Zack Snyder akhirnya berakhir dengan perilisan Zack Snyder’s Justice League. Film ini merupakan buah dari kampanye penggemar yang monumental, #releasethesnydercut.
Film adaptasi DCEU ketiganya ini (setelah Man of Steel dan Batman v Superman: Dawn of Justice) ini sendiri merupakan pencapaian luar biasa. Pasalnya, lewat ini Snyder berhasil mewujudkan apa yang tadinya hal yang mungkin tidak akan pernah terealisasi. Namun, apakah hasil akhir Zack Snyder’s Justice League bisa memperbaiki kegagalan film versi teatrikalnya?
Melanjutkan apa yang sudah terjadi di Batman v Superman: Dawn of Justice, Zack Snyder’s Justice League berpusat pada Bruce Wayne (Ben Affleck) yang berusaha menebus pengorbanan Superman (Henry Cavill). Tanpa pembela terhebat di Bumi, ancaman invasi kuno yang sangat besar kembali bangkit, dan memaksa Bruce membentuk tim pahlawan yang bisa menghentikan ancaman itu. Bekerja sama dengan Diana Prince (Gal Gadot), berdua mereka berusaha merekrut Arthur Curry (Jason Momoa), Victor Stone (Ray Fisher) dan Barry Allen (Ezra Miller), sebelum semuanya terlambat.
Dalam term plotnya, Zack Snyder’s Justice League sejatinya secara general masih tetap sama dengan versi sebelumnya. Namun, di tangan Snyder, sajian itu seakan menjadi film yang sama sekali baru. Runtime yang panjang memungkinkan Snyder membangun dunia yang fantastis dengan konteks tambahan yang meningkatkan taruhannya.
Saya ulangi lagi, plotnya secara praktik identik, namun ditambah karakter Darkseid yang diperlihatkan akan menjadi antagonis utama di dua babak lanjutannya yang mungkin tidak akan pernah difilmkan, atau setidaknya hingga gerakan kampanye baru fans kembali bergerak masif. Secara de facto, sulit dibantah bahwa versi Zack Snyder lebih koheren daripada versi sebelumnya.
Awalnya direncanakan sebagai babak pertama dari sebuah trilogi, film berdurasi nyaris mencapai empat jam ini menjelma menjadi cerita epik dalam skala besar, ibarat sajian 300 dipadukan dengan Watchmen. Sebagaimana yang diharapkan dari film arahannya, film ini menjadi kaya visual lengkap dengan ciri khas gaya penyutradaraannya, montase adegan slow-mo yang artistik dan variasi palet gradasi warna pilihannya.
Dengan kelebihan keleluasaan yang dimilikinya, Snyder mampu menata komposisi dan segala aspek yang ada di Zack Snyder’s Justice League menjadi sajian yang nikmat diikuti. Efek visual yang ditampilkan sebagian besar impresif terutama dalam menghidupkan sosok Steppenwolf dan Darkseid. Sekuen adegan aksinya pun koreografinya tertata sangat baik. Begitupula dengan sajian latar musik yang sama sekali baru dari Junkie XL yang berhasil memberi warna tersendiri.
Penuangan karakternya pun jauh lebih baik, mampu memberikan sorotan lebih dari cukup pada karakter-karakter yang di versi sebelumnya tak lebih menjadi sekadar tempelan. Sekaligus menjadikan landasan solid yang mampu meyakinkan fansnya bahwa jalur yang diambilnya dengan langsung menghadirkan para karakter tersebut sebelum memberikannya masing-masing film solo terlebih dahulu, tidaklah salah.
Usut punya usut, sekarang menjadi sangat beralasan mengapa Ray Fisher begitu militan mengutarakan kekecewaannya pada versi terdahulu Justice League. Pasalnya, sesuai dengan pernyataan Snyder sendiri bahwa karakter Cyborg adalah jantung dari kisah Justice League arahannya, karakter ini plot arcnya merupakan yang paling integral mengaduk emosi penonton di film ini.
Untuk term detail, khas Snyder, ia masih tidak bisa mengerem untuk tidak menyisipkan banyak hal di dalamnya. Di sini juga banyak bertaburan Easter Egg bagi fansnya untuk bersorak lewat penampilan cameo banyak karakter yang sudah lama ia janjikan, meski jika dirunut satu atau dua di antaranya sekuennya mungkin membingungkan secara signifikansinya.
Zack Snyder’s Justice League secara keseluruhan merupakan versi yang lebih superior dari versi sebelumnya, baik secara durasi, pengeksekusian, dan kualitasnya. Namun, harus diakui pula bahwa hasil akhirnya masih tetap sebuah film superhero DC ala Zack Snyder, dengan segala kekhasannya. Yang mana — meski penulis pribadi sangat menyukai gaya naratif penyutradaraan sang sineas — sajiannya yang seperti lebih mengedepankan visual stylish dan penuturan storyline ketimbang hiburan spektakuler no-brainer, menjadikan film arahannya selalu ada di garis segmented, terutama bagi kalangan awam, tidak terkecuali dengan arahan terbarunya ini.
Zack Snyder’s Justice League dapat disaksikan secara streaming di HBO Go sejak 18 Maret 2021