Woodstock 99: Peace, Love, and Rage adalah film dokumenter baru HBO. Sesuai judulnya, film arahan Garrett Price ini menyoroti rentetan peristiwa kelam dan barbar di balik event musik akbar fenomenal Woodstock yang digelar pada tahun 1999.
Pasca kesuksesan Woodstock ’94, Michael Lang dan John Scher, organiser yang juga penyelenggara ajang Woodstock pertama di tahun 1969, ingin menghadirkan Woodstock’99. Tujuannya, menutup era 1990an dengan festival musik akbar yang menangkap esensi tren musik pada era itu sekaligus momen perayaan 30 tahun sejak Woodstock pertama kali digelar. Untuk itulah, mereka menggunakan promosi mantra yang digunakan di ajang aslinya, yaitu peace and love.
Digelar pada tanggal 22-25 Juli, festival ini menghadirkan insan-insan musik terkemuka kala itu: George Clinton, Jamiroquai, James Brown, Limp Bizkit, Metallica, Sevendust, DMX, Sheryl Crow, Kid Rock, Rage Against the Machine, Jewel, Live, The Offspring, Korn, hingga Red Hot Chili Pepper.
Akan tetapi, berbeda dengan yang terjadi pada ajang-ajang Woodstock sebelumnya, festival ini justru menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai “The Day the Nineties Died”, ketika penjarahan, vandalisme, dan kekacauan yang tak terkendali mengambil alih acara tersebut dengan insan-insan musik seperti Limp Bizkit dan Kid Rock dituding sebagai pemandu soraknya.
Digelar di sebuah lahan bekas pangkalan militer angkatan udara Amerika di dekat New York, cuaca di sana pada saat itu sangatlah panas yang makin diperparah dengan panas tubuh lebih dari 200.000 penonton yang datang langsung. Harga makanan dan minuman (air minum botol-red) dijual sangat mahal, sementara sumber air alternatif sulit ditemukan.
Situasi yang ada tereskalasi semakin buruk oleh tembang-tembang band yang tampil seperti Korn, Limp Bizkit, Rage Against the Machine, dan Megadeth, yang berinteraksi membakar emosi para penonton yang didominasi para pemuda berusia 20an tahun. Dan, bom waktu yang dahsyat tinggal menunggu momentumnya saja untuk meledak.
Pada saat Limp Bizkit naik ke panggung di hari ke-2 acara, tempat itu kotor, dengan toilet portabel yang penuh dengan kotoran, orang-orang mandi di air mancur, dan tim keamanan “Peace Patrol” kewalahan. Puncaknya di hari ketiga, ATM dan properti dihancurkan, dan kobaran api besar akibat organisasi nirlaba membagikan lilin untuk mengenang peristiwa penembakan Columbine (yang terjadi hanya beberapa bulan sebelum acara).
Laporan akhir? 1.200 luka-luka, 44 penangkapan, dan empat dugaan tindak kriminal seksual. Dengan kemungkinan angka yang sesungguhnya lebih dari itu.
Disajikan secara komprehensif, dan dibedah dengan wawasan luas, Woodstock 99: Peace, Love, and Rage tidak hanya semata-mata memberikan sejarah lisan, melainkan analisis bagaimana/mengapa situasi saat itu menjadi tidak terkendali. Para narasumber, mulai penonton langsung, jurnalis, insan musik, hingga pengamat menawarkan pendapat hingga opini mereka mengenai apa yang menjadi biang keladi terjadinya peristiwa itu, yang membuat dokumenter ini menarik.
Tentunya, tidak ketinggalan momen-momen historis berupa cuplikan-cuplikan penampilan aksi panggung para musisi dan rekaman-rekaman yang memerlihatkan situasi festival pada saat itu. Pendeknya audiens ibarat diajak langsung dan merasakan sendiri atmosfer di ajang tersebut.
Woodstock 99: Peace, Love, and Rage menandai babak pertama dari beberapa dokumenter HBO yang telah direncanakan di bawah label Music Box yang baru didirikan oleh Bill Simmons, co-creator di balik kesuksesan seri dokumenter 30 for 30 untuk ESPN. Dan, menilik dari apa yang dihasilkan dengan dokumenter tentang Woodstock ’99 ini, rasanya sepak terjang lanjutan label Music Box sangatlah menjanjikan.