Setelah penantian selama tiga tahun, DC meluncurkan film superhero batu penjurunya, pertarungan dua superhero utama: Superman melawan Batman. Dan seperti yang diperkirakan, timbul gelombang pro kontra yang besar. kritikus mengatakan film ini jelek, sementara fanboys DC menyambutnya dengan luar biasa. Kejadian yang kurang lebih sama seperti saat film prekuelnya, Man of Steel diluncurkan. Di sini terjadi pertarungan yang sebenarnya: Kritikus melawan fanboys. Who will win…
Saat ini, meski secara obyektif tidak yakin menang, saya berada di pihak fanboys…
Saat menonton film ini, jangan membayangkan jalinan cerita seperti trilogi Batman karya Chris Nolan yang kelam, membosankan dan overated itu. Penuturan cerita di sini disajikan agak loncat-loncat, dari adegan ke adegan. hanya untuk menggiring kita pada pertarungan puncak. Banyak juga dilemparkan petunjuk di sepanjang film yang mengarah pada kelanjutan film ini, yang sayangnya, mungkin hanya dipahami oleh fanboys DC Universe. Ini film superhero yang penuh dengan pertarungan fantastik, yang kebetulan disajikan dengan palet layar yang kelam. Ini film superhero dengan pertarungan puncak selama satu jam penuh… satu jam! Apalagi yang bisa diharapkan seorang fanboys.
Jangan mengharapkan humor seperti film-film Marvel atau standup komedi seperti Deadpool. Zack Snyder, sang sutradara, memang bukan ahli dalam melontarkan humor di layar. Semua karyanya minim humor. Tapi paling tidak, saya tidak dibikin mual dengan penggambaran karakter superhero yang sedari awal sampai akhir film mengoce sendirian, seperti yang ditunjukan di salah satu film favorit kritikus baru-baru ini.
Jangan mengharapkan karakter kompleks seperti Joker nya Heath Ledger. Batman hanyalah orang kaya paruh baya yang suka bermimpi dan mendendam atas kematian karyawannya, Superman hanyalah seorang mahluk luar angkasa humanis yang mengkhawatirkan keselamatan ibunya, Doomsday hanyalah anjing peliharaan Lex Luthor, sementara Lex hanyalah konglomerat yang mengkhawatirkan eksistensinya. Tapi Batman di sini bisa bertarung, Superman di sini punya tatapan tajam, bukan lembut seperti yang ditunjukan Brandon Routh dalam Superman Returns.
Akhirnya semua terpulang pada selera. Sulit bagi saya memberikan nilai plus untuk Superman Returns yang membosankan dan Deadpoll yang membuat saya mual. Namum kritikus memberikan nilai luar biasa pada keduanya – meski kemudian Superman Returns flop. Saya jadi teringat saat terpana pada suasana pedesaan Smallville Kansas yang disajikan Man of Steel, lengkap dengan pertarungan seru di gerai 7Eleven. Dan saya sudah menontonnya lebih dari sekali. Namun kritikus memberi nilai buruk. Sederhananya, selera saya sering berbeda dengan kritikus film. Buat saya, ulasan film baik untuk dibaca, namun tidak jadi patokan mutlak bagus tidaknya sebuah film. Saran saya, nonton saja, buat opini sendiri, semua terpulang pada selera individu.
Oh ya, tentang Wonder Woman. Terus terang saya sudah melupakan versi Lynda Carter setelah versi Gal Gadot ini muncul. Terus terang, walau kemunculannya cuma sesaat dalam kostum seksi itu, kenangannya membekas sampai sekarang. Wonder Woman yang ini bisa tersenyum saat dihempaskan oleh Doomsday.
Saya jadi mulai melupakan Scarlett Johanson dengan suara seraknya…