Meski saat pertama kali dirilis banyak yang sedikit menyayangkan kemunculannya (karena sebenarnya versi Swedianya sukses besar dan berhasil menyihir banyak pihak, khususnya kalangan kritikus Hollywood yang dikenal dengan kritikan tajamnya), mau tidak mau Matt Reeves (Cloverfield) lewat Let Me In kembali layak diberi angkatan topi karena ia berhasil membuat hasil adaptasi Hollywood yang sangat memuaskan dari novel bestseller asal Swedia Låt den rätte komma in, yang juga pada tahun 2008 sudah diangkat ke layar lebar oleh sineas lokal Tomas Alfredson.
Let Me In berkisah tentang Abby (Chloe Grace Moretz), gadis 12 tahun yang pindah ke Los Alamos pada musim dingin 1983. Dia bertetangga dengan Owen (Kodi Smit-McPhee) dan ibunya yang sedang dalam proses perceraian. Owen, yang sering menjadi korban bully di sekolahnya, merasa cocok bergaul dengan Abby dan di antara mereka terjalin sebuah hubungan pertemanan yang kuat. Tetapi, Owen merasa bahwa Abby adalah sosok yang amat berbeda. Saat mulai terjadi pembunuhan di kotanya, Owen harus menghadapi kenyataan bahwa Abby yang sensitif dan perhatian adalah seorang vampir ganas.
Perlu diingat kala pertama kali tersiar kabar bahwa Hollywood berniat meremake film Swedia yang judul dalam bahasa Inggrisnya adalah Let the Right One In, meski hanya segelintir orang (yang sudah menyaksikan versi awalnya), kekhawatiran sontak merebak, khawatir bahwa versi Hollywoodnya bakal menghancurkan reputasi film orisinalnya. Penulis sendiri (yang sudah menyaksikan versi Swedianya) termasuk yang sedikit khawatir dengan prospek film ini.
Pasalnya, apalagi kalau bukan sejarah membuktikan bahwa film-film luar Hollywood yang kemudian diremake, hasilnya banyak yang mengecewakan, ambil contoh teranyar adalah The Tourist (adaptasi film Perancis Anthony Zimmer) yang menjadi cercaan banyak orang meski dibintangi Johnny Depp dan Angelina Jolie, dua bintang Hollywood yang kalibernya tidak perlu diragukan lagi.
Kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi, pasalnya Let Me In titik berat ceritanya adalah persahabatan kompleks antara dua bocah cilik, di mana salah satunya adalah vampir berusia ratusan tahun. Dua tokoh utamanya yang bukan orang dewasa itulah menyebabkan di jajaran pemain film itu tidak ada nama-nama besar seperti dua ujung tombak dalam The Tourist tadi.
Sempat menimbulkan rasa skeptis, Let Me In berhasil menyuguhkan sajian yang ‘mengenyangkan’, di mana tanpa menghilangkan esensi yang ada pada film aslinya, Reeves sukses mengemas film horor adaptasi ini seakan-akan ‘berdiri sendiri’ dan menjadikannya kisah ini sebagai miliknya. Hasilnya, Let Me In bak sebuah film yang sama sekali baru, bahkan bagi yang sudah pernah menyaksikan Let the Right One In sekalipun.
Jalinan cerita yang kuat dipadukan dengan chemistry apik dari dua pemain sentralnya (Moretz dan Smit-McPhee) mumpuni menghasilkan film yang enak ditonton, khususnya bagi penyuka genre drama atau kalangan yang sudah tidak asing lagi dengan formula film-film kelas festival. Pun dengan pemilihan musik yang ada, tergolong efektif untuk membangun dan mendukung tone yang ada di Let Me In.
Tentu saja, bukan berarti tidak ada sedikitpun kekurangan dalam film karya penyutradaraan pertama Reeves pasca Cloverfield ini, seperti misalnya tidak adanya penggalan kisah mengenai latar belakang Abby, atau penjelasan mengapa Owen kerap meniru gerak-gerik psikopat bertopeng lengkap dengan pisau terhunus setiap malam hingga larut. Namun, hal itu tidak mencapai tahapan mengganggu dan serta merta menjadikan kenikmatan menyaksikan film ini menjadi ternoda.
Secara keseluruhan, melalui film adaptasi ini, Reeves seakan-akan membuktikan bahwa ia adalah salah satu sineas yang karya-karya penyutradaraannya patut untuk diperhitungkan dan sayang dilewatkan begitu saja. Matt Reeves sendiri kini dikenal sebagai salah satu nama jaminan mutu di Hollywood yang telah menyiapkan satu karya penyutradaraan baru, interpretasi terbaru Batman yang dijadwalkan rilis 2022.