Bagi para penikmat film Asia, terutama rilisan negeri matahari terbit rasanya pasti tidak asing dengan tema permainan maut misterius, ala- ala Battle Royale ataupun As the Gods Will. Perihal itulah yang juga dikedepankan dalam serial original Netflix yang berjudul Alice in Borderland ini.
Diangkat lewat penyutradaraan Shinsuke Sato (Kingdom, Gantz, Inuyashiki), serial ini diadaptasi dari manga berjudul sama karya Haro Aso. Berujungtombakkan salah satu heartthrob di industri perfilman Jepang, Kento Yamazaki (Kingdom,L.DK, Another), Alice in Borderland berfokus tentang orang-orang bernasib naas yang harus berkompetisi dalam ajang permainan maut misterius hidup-mati. Analoginya sendiri jelas mengacu pada dongeng klasik populer Alice in Wonderland.
Tokoh Alice dalam kisah ini adalah Ryohei Arisu, mantan mahasiswa penyuka game yang punya intelegensi tinggi, terutama dalam hal memecahkan logika teka-teki dan permainan. Kelebihan Arisu ini dengan cepat terbukti sangat berguna, dikarenakan ia dan dua sahabatnya: pemuda tangguh perayu gadis; Karube (Keita Machida) dan IT spesialis Chota (Yuki Morinaga), saat memasuki sebuah kamar toilet bersama-sama, tiba-tiba berada di situasi aneh di mana kota Tokyo yang sangat ramai menjadi sepi, dan dipenuhi banyak tantangan mematikan berdasarkan kategori kartu permainan yang menunjukkan jenis dan tingkat kesulitannya. Instruksi disampaikan melalui ponsel dan kegagalan bisa berakibat kematian. Arisu dan teman-temannya kini harus bekerjasama baik satu sama lain, dan pemain lainnya, seperti gadis atletis jago memanjat Yuzuha Usagi (Tao Tsuchiya), untuk bisa tetap bertahan hidup sambil berusaha untuk mencari tahu mengenai apa yang terjadi.
Satu hal yang lumayan impresif dari Alice in Borderland, salah satunya adalah momen awalnya. Harus diakui, dalam keadaan normal, adalah bagaimana Sato beserta timnya bisa mengosongkan Shibuya Crossing, salah satu persilangan jalan paling terkenal di dunia. Namun, pandemi global Covid-19 sudah menyebabkan pengosongan area-area padat penduduk sepanjang tahun ini, menjadikan hal itu tidak terlalu mengagumkan lagi. Akan tetapi, usaha untuk mewujudkan adegan itu layak mendapat apresiasi tinggi. Dan, berawal dari sana, situasi akan semakin bertambah eskalasinya.
Dan, memang susah rasanya untuk tidak hanya sekadar menikmatinya. Pasalnya tidak ada sebagian episodenya yang memberikan eksposisi ataupun sesi pembangunan latar belakang karakter secara cermat. Bahkan, tidak ada pengaturan franchise yang jelas, meski serial ini merupakan hasil adaptasi manga yang masih banyak hal yang bisa diadaptasi di sini. Tidak ada penjelasan yang padat untuk apapun, bahkan karakternya- pelbagai kebiasaan dan keistimewaan para pemain penting baru terkuak saat mereka memiliki peranan penting dan tidak pernah benar-benar bertahan, dan pemahaman penonton tentang apa yang sebenarnya terjadi sejalan dengan karakter tersebut.
Pendek kata, bisa dikatakan Alice in Borderland tidak lain adalah Battle Royale yang cara bermainnya mendapatkan perubahan dan peningkatan kontemporer. Nyaris tidak ada elemen yang baru, namun serial ini mampu menampilkan versi yang sangat halus dan energik dari format yang siap untuk ditonton secara simultan. Sajiannya berjalan dalam pace sangat tinggi dan hanya memberikan plot atau informasi karakter saat diperlukan, dan berani percaya lebih menitikberatkan pada keragaman jenis permainan yang ada. Dan, terbukti hasilnya mumpuni.
Digarap dengan baik, porsi aksinya tertata apik dan menarik, permainan-permainannya cerdas, dan para karakternya terlihat meyakinkan sebagai sahabat karib yang terjebak dalam situasi berbahaya dan tidak terduga. Dengan jumlah delapan episode berdurasi kurang dari satu jam, ini adalah tayangan beroktan tinggi dalam format usang yang terbukti menghibur untuk disaksikan.
Alice in Borderland bisa disaksikan secara streaming di Netflix