Skizm: “You sit on your computers, liking pictures of babies, sharing inspirational quotes, but what you really wanna see is death. You click on horrific news headlines. Violence, destruction, and war because it makes your shitty little lives seem that little less shity.”
Jika Anda penyuka jenis film drama dengan kesan mendalam sebaiknya lupakanlah Guns Akimbo, karena film ini dikemas untuk mereka yang berjiwa muda. Bahkan Lapak kritik film papan atas saja hanya memberikan rating bintang tiga bahkan dua setengah untuk film ini, namun apakah filmnya sendiri memang setragis itu?
Film ini mengisahkan dunia dimana segala sesuatu bisa menjadi viral dan menguntungkan. Skimz merupakan organisasi kriminal masa depan yang memperoleh popularitas lewat tontonan live-streaming-nya. Mereka mempertemukan dua petarung untuk beradu sampai mati dan keseluruhan aktivitas kedua petarung itu ditampilkan streaming untuk dikonsumsi masyarakat netizen tanpa sepengetahuan korban.
Kali ini korban yang dipilih adalah Milles Harris (Radcliffe ), seorang programmer biasa yang kerap menerima bully baik dalam realita maupun online, suatu hari Milles tidak sengaja membalas trolling saat online. Tanpa aral melintang, rombongan Skimz mendobrak kediaman Milles, memukulinya, membuatnya tidak sadar, dan yang paling tidak masuk akal: memplantasikan kedua jemarinya dengan shotgun, alhasil setelah sadar, Milles kebingungan meraih segala sesuatu dengan tangannya dan melakukan kegiatan normal. Usut punya usut, Skimz secara diam-diam mempertemukan Miles dengan assassin brutal korban Skimz lainnya bernama Nix (Weaving) selagi netizen menyaksikan keduanya saling bunuh sementara Skimz terus mendapatkan keuntungan dengan naiknya viewer online–streaming.
Plot Gunz Akimbo bisa dibilang sederhana dan mudah diikuti, mencerminkan kehidupan kalangan netizen jelata di kehidupan sehari-hari dengan racikan bumbu kekerasan, komedi satir, dan sountrack muktahir yang membawa penonton ke dalam suasana Cyberpunk. Elemen-elemen seperti itu membuat film garapan sutaradara New Zealand (Jason Lei Howden) ini terasa segar, walaupun bukan jaminan dinikmati oleh beberapa kalangan.
Gunz Akimbo memiliki unsur lamunan, game, fantasi cyberpunk, dan sangat stylish, namun pada dasarnya tidak melenceng dari realita keseharian menyangkut dunia gelap sosial media dan game online, jadi tidak adil juga bila dibilang gagal. Rasa frustasi ingin bunuh diri digambarkan secara jenaka alih-alih menjadi melo- dramatis dan carut marut dunia yang se-emprit ini disajikan dalam gaya junk food bahkan pelajaran hidup tidak terduga dapat dipetik dari seorang gelandangan.