Danny Boyle adalah sutradara yang penuh kejutan. Itu rasanya fakta yang sulit dipungkiri. Tidak percaya? Simak dan telaah saja daftar filmografinya satu persatu, nyaris satu sama lainnya sulit dijumpai benang merah untuk menentukan tendensi kekhasan penyutradaraannya, pendeknya Boyle adalah sutradara bunglon.
Angkat nama lewat film drama kontroversial Trainspotting, ia lantas menghadirkan drama black comedy tentang sepak terjang para malaikat membantu kaum manusia menemukan cinta sejati mereka di A Life Less Ordinary. Dari situ, Boyle lantas mengadaptasi novel Alex Garland, The Beach, kemudian bermanuver total ke genre horor aksi lewat 28 Days Later, dan kemudian lagi-lagi ia menyuguhkan genre berbeda di film-film besutannya berikutnya.
Lebih mengerucut lagi, film paling populer Boyle pasca itu dan mungkin paling dikenali hingga saat ini adalah Slumdog Millioner, adaptasi novel berjudul sama yang terbilang unik karena sangat kental nuansa Bollywoodnya. Oleh karena manuver-manuver di luar perkiraan itu pula membuat film besutannya selalu dinantikan khalayak perfilman dunia. Bak gayung bersambut, sang sineas menanggapi animo tersebut dengan karya-karya unik, yang mana menjadi oase menyegarkan di tengah kering kerontangnya Hollywood menyuguhkan film-film dari naskah asli yang baru.
Sementara, Richard Curtis adalah penulis naskah film yang kapasitasnya tidak perlu diragukan lagi. Pria asal Inggris ini adalah figur penting di balik kesuksesan film-film drama komedi romantis seperti Four Weddings and a Funeral, Notting Hill, Bridget Jones’s Diary, Love Actually, maupun About Time. Lantas apa jadinya jika dua insan film visioner ini berkolaborasi? Jawabannya ada pada Yesterday.
Mengusung genre drama komedi romantis yang dibalut unsur fiksi ilmiah, suguhan sajian kolaborasi Boyle dan Curtis ini harus diakui premisnya tidaklah baru namun sangat menggelitik. Dalam deskripsi singkat, Yesterday adalah film yang sangat indah. Film ini sama sekali tidak rumit dan mudah dicerna kalangan apapun. Meski nuansa musik The Beatles cenderung kental, tidak serta merta harus kenal benar The Beatles untuk bisa menikmati film ini.
Entah idenya dari Boyle, Curtis, maupun andaikata ada otak ketiga atau lebih di baliknya, bisa dikatakan pencetusnya adalah seorang yang jenius. Plotnya disusun dari paduan unik jalan cerita yang tidak terduga dan adegan-adegan klise, namun dituangkan dalam pace yang tertata apik dan sarat referensi meta yang bakal terasa menghibur bagi kalangan penggemar film-film bermuatan budaya pop.
Sajian film ini juga secara tepat sasaran mampu mengeksekusi premis yang ingin disampaikannya dalam pelbagai tingkatan. Baik itu melalui performa dua bintang utamanya: Himesh Patel dan Lily James yang perkembangan karakter mereka saling mengisi sepanjang film dan mampu menciptakan chemistry sangat apik, kontribusi para pemain pendukungnya (Ed Sheeran as himself dan Kate McKinnon), hingga ke detil ‘pelengkap’ yang memungkinkan tema yang diusung di sini tidak sampai membuat kening berkerut dan justru sebaliknya mudah dimaklumi.
Sebagai pemberi rasa utama, tembang-tembang klasik The Beatles yang digunakan di film ini bisa menjadi highlight tersendiri. Meski tidak semuanya tampil utuh, dan kebanyakan dipresentasikan dalam aransemen kekinian namun tetap enak dinikmati.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, sajian Yesterday terasa berbeda. Sebagaimana skrip film yang disusun Curtis sebelumnya, sentuhan khas penulisannya sangat terasa di mana dari segi fondasinya memiliki aroma perpaduan Notting Hill dan About Time. Namun, film ini punya banyak kekuatan lain, sinematografi indah, sarat humor cerdas, tema yang tidak intens namun punya impact besar dan penokohan kuat, yang mana mudah dijumpai dalam film-film hasil arahan Boyle.
Namun, yang membuat Yesterday paling memikat hati penulis sehingga tidak ragu-ragu menahbiskannya untuk saat ini sebagai rilisan 2019 paling favorit adalah tidak ada pemaksaan justifikasi atas kejadian luar biasa yang terjadi ataupun treatment over the top terhadap-aspek-aspek pembangun fondasi filmnya (mild spoiler: bukan hanya The Beatles yang terhapus dari sejarah –red). Ya, pilihan untuk tidak menyertakan penyebab pemicu anomali adalah keputusan yang brilian, pun juga figur atau fenomena apa saja yang ikut terhapus ( yang malah menjadi pemicu humor mumpuni di sini). Bahkan, figur kunci yang dihadirkannya, seakan penegasan yang membedakan realitas dalam film dengan kenyataan.
Angkat topi untuk Boyle dan timnya yang menjaga film ini dalam koridor yang sederhana. Karena sebagaimana dalam realitas ada sebuah momen di kehidupan setiap orang di mana hal-hal bisa berjalan sangat sederhana, begitu pula film ini. Yang sajiannya, tidak berusaha memperbaiki dunia atau menggurui para penontonnya, namun hanya sekadar membuat audiensnya tersenyum dan menikmati sajian komedi romantis yang menghibur.