Fakta bahwa ini merupakan hasil kolaborasi Na Hong-jin dan Banjong Pisanthanakun menjadikan The Medium tidak ubahnya gambaran ideal supremasi film horor Asia. Betapa tidak, jika Anda merupakan penggemar film horor terutama yang berasal dari Asia, pasti tidak asing lagi dengan dua nama ini.
Insan film asal Korea Na Hong-jin yang dalam The Medium menjadi penulis naskah dan produsernya, adalah pembesut film horor cult klasik The Wailing (baca reviewnya di sini). Sementara, Pisanthanakun adalah sineas Thailand terkemuka yang mengawali debut penyutradaraannya lewat gebrakan luar biasa, Shutter, yang kemudian diremake oleh Hollywood, serta Alone dan Pee Mak. Lalu, apa jadinya hasil kolaborasi dua nama besar horor Asia ini?
Dengan setting kawasan Thailand utara, tepatnya di Isan. Satu tim pembuat film tengah membesut film dokumenter tentang latar belakang dan sejarah budaya dukun di sana.
Menjelaskan idealisme di balik keberadaan arwah dalam segala hal. Dari sawah dan rumah hingga manusia, hewan, dan artefak, baik roh jahat maupun roh baik memiliki pengaruh pada semua yang manusia lakukan. Seorang dukun wanita bernama Nim, yang garis keluarganya secara turun temurun menjadi dukun yang terpilih secara mistis, menjadi narasumber utamanya.
Konflik dimulai, saat Nim datang menghadiri upacara pemakaman suami dari saudari tuanya yang bernama Noi. Melihat tindak tanduk putri Noi yang bernama Mink menunjukkan gelagat mencurigakan, Nim dan tim mulai menaruh perhatian pada keponakannya. Tidak disangka hal itu membawa pada terkuaknya rahasia gelap masa lalu tentang keluarga sang dukun wanita dengan klimaks konsekuensi horor mengerikan yang memakan banyak korban jiwa.
The Medium disajikan dalam bentuk paduan mockumentary (film fiksi yang dibesut ala sebuah dokumenter-red) dan found footage. Sajiannya mengingatkan pada film-film found footage terkemuka, terutama yang sama-sama mengetengahkan genre horor, seperti Blair Witch Project maupun REC.
Sebuah horor eksotis terstruktur baik yang tidak terlalu banyak mengungkapkan daya gedornya hingga menjelang paruh akhir film, tidak ada keraguan bahwa The Medium memiliki semua amunisi untuk menjadi film horor yang solid. Selama 130 menit durasinya, film ini berkembang dari film dokumenter semu menjadi kejutan yang sangat liar dan mendalam, dengan akhir yang meresahkan baik pada tingkat visual dan psikologis.
Performa para pemain utamanya sangat layak mendapatkan pujian atas kesolidan mereka. Khususnya kepada aktris debutan Narilya Gulmongkolpech, si pemeran Mink. Begitupula pemeran sang protagonis utama Nim, Sawanee Utoomma.
The Medium secara keseluruhan mengerikan dan berdarah. Meskipun tidak banyak perangkat horor yang kuat dan langsung digunakan, penonton yang lalai mungkin akan terkejut oleh perasaan takut yang kuat dari paruh kedua film di mana upacara pengusiran setan untuk Mink disiapkan dan dilanjutkan. Adegan-adegan yang muncul bersamaan dengan ritual pengusiran setan adalah campuran antara okultisme dan gore, menciptakan kengerian yang lumayan menggedor jantung.
Bagi mereka yang menyukai filmnya memiliki alur cerita yang rumit dan dipikirkan dengan matang, apa yang berkembang akan memuaskan keinginan itu. Dengan para pemeran yang sangat solid dan arahan yang percaya diri memastikan bahwa ini adalah salah satu film yang akan bergaung cukup lama di belantika horor Asia dan mungkin dunia.
The Medium adalah salah satu karya horor modern yang brilian, meski mungkin bagi sebagian kalangan durasinya yang 130 menit akan dirasa terlalu panjang. Tetapi, seberapa banyak penonton setuju akan hal ini tergantung pada perspektif dan keinginan mereka untuk horor dan gore. Bagi mereka yang tidak berjantung lemah, ini adalah film yang layak direkomendasikan.
The Medium dapat disaksikan di bioskop-bioskop tanah air mulai 20 Oktober 2021