1) Sutradara Sir Ridley Scott kembali lagi dalam genre aksi-sains fiksi-ruang angkasa yang sudah menjadi mainan khasnya. Kali ini mengadaptasi novel berjudul sama karya Andy Weir. “The Martian” bercerita tentang misi kecelakaan berbuah misi penyelamatan seorang astronot yang terdampar di Planet Mars. Ekspektasi saya tetap tinggi walaupun film terakhir Scott “Exodus” cukup meeeeeh. Saya yakin kali ini sang sutradara akan disiplin mengikuti alur material asli novelnya.
2) Genre ruang angkasa selalu menarik untuk diikuti. Setting angkasa luar mengedepankan ketepatan dan kecepatan bertindak para tokoh dalam skup dan batasan yang minim toleransi. Dan itu adalah sesuatu yang bagus bagi penonton untuk menjaga fokus dan suspense. Secara khusus, rilisnya film ini pas dengan momentum ditemukannya fakta baru bahwa ada sistem aliran air (H20) di permukaan Planet Mars.
3) Belum pernah terjadi sebelumnya dalam 3 tahun berturut-turut Hollywood menciptakan parade film ruang angkasa. Setelah “Gravity” (2013), dan “Interstellar” (2014), “The Martian seolah menjadi penutup trilogi yang cukup moderat. Jika “Gravity” mengambil unsur survival dalam skup lokal orbit Bumi dan “Interstellar” bergerak terlalu edgy ke dunia ekstra-terestrial dan metafisika. Maka “The Martian” mengambil jalan tengah; drama aksi penyelamatan bermutu diluar Bumi, namun masih menginjak Bumi (baca : fisika normal)
4) Dari segi pemeran, film ini adalah show up bintang-bintang Hollywood kelas A yang memang sedang in. Selain Matt Damon yang menjadi protagonis utama (sekaligus yang paling sengsara) yaitu astronot Mark Watney, ada duo aktris blonde favorit saya; Jessica Chastain dan Kate Mara. Selain itu Jeff Daniels, Kristen Wiig, Michael Pena, Sebastian Stan, dan lain-lain juga turut meramaikan. Khusus aktor Chiwetel Ejifor, entah kenapa saya yakin kalo aktor India Irrfan Khan pernah dipertimbangkan memerankan tokoh Vincent Kapoor.
5) Oh iya, ada aktor Sean Bean. Spoiler Alert.
6) Untuk naskah, karena dari novel best seller, terlihat sudah matang. Ketegangan ditampilkan sejak awal. Dan setelah astronot Mark terdampar, dimulailah konflik-konflik dibangun pelan-pelan. Penggambaran konflik sangat dinamis karena melibatkan 3 dunia. Konflik Bumi melibatkan NASA dan upaya para astronom menemukan rencana terbaik penyelamatan Mark. Konflik di Mars melibatkan Mark yg mencari kesibukan mencari waktu luang di Planet Merah. Selanjutnya yang tidak kalah bagus adalah pergulatan kru wahana Hermes (dimana Mark ikut bergabung) yang harus memilih antara kembali saja ke Bumi atau berbalik lagi ke Mars menyelamatkan Si Mark yg mulai mati gaya.
7) Walaupun premis naskahnya serius, bukan berarti film ini berjalan tegang melulu. Dalam beberapa scene banyak disisipkan humor-humor cerdas dan pas kadarnya. Uniknya, ada beberapa hint seru nan menggelitik yg melibatkan referensi para pemerannya. Seperti “Dewan Elrond” yang mengingatkan Sean Bean sebagai Boromir di “Lord of the Ring”. Ada juga scene Matt Damon bersibuk-ria sambil lagu ABBA “Waterloo” dimainkan (hayo, ini terkait dengan peran Matt Damon di film apa?). Belum lagi referensi superhero-superhero Marvel yang melibatkan para pemainnya.
8) Dari sisi sinematografi masih khas Ridley Scott dengan segala detailnya. Perbedaan tone antara Mars (merah), Bumi (biru-key), dan angkasa (hitam-putih) lumayan memanjakan mata. Walaupun masih belum bisa menandingi teknik pengambilan gambar di “Gravity” dan “Interstellar”. Desain produksi juga mampu menampilkan set berbau angkasa yg komplit dan dinamis, pun dengan desain kostumnya. Bukan kebetulan kalao trio Dariusz Wolski (sinematografer), Arthur Max (desainer produksi), dan Janty Yates (penata busana) adalah trio sakti yang sudah dipakai Scott sejak “Gladiator”.
9) Dari sisi tata suara tetap mumpuni dan dahsyat. Komposisi musik latar gubahan Harry Gregson Williams juga pas dengan spektrum genre musik yg luas sesuai adegan. Saat adegan dramatis dia menggunakan orkestra biasa. Namun saat adegan menegangkan Williams mengeksplor tata suara elektronik yg berisik, mirip pendekatan Steven Prince di “Gravity”.
10) Kekurangan dalam “The Martian” adalah kurangnya eksplorasi konflik emosional Mark Watney saat terjebak di Mars. Ekspresi frustrasi dan sedih memang ditampilkan. Bahkan akhirnya ditampilkan sosok Mark yg kurus kerempeng kurang makan dan tidak bercukur. Namun tidak diperlihatkan sisi kelelahan mental yg dalam. Walaupun seorang astronot adalah memang level manusia unggul dan terpilih, terkurung hampir 3/2 tahun dalam kesendirian dan dekat dengan maut adalah sebatas-batasnya level manusia.
11) Akhir kata, “The Martian” adalah suguhan drama-aksi sains fiksi yang bermutu dan wajib ditonton oleh penikmat genre ini. Spirit yang ditampilkan adalah kerjasama yang menembus sekat-sekat politik untuk mencapai tujuan tertinggi penjelajahan angkasa. Jika film dapat dikaitkan dengan etos sebuah bangsa, bisa dibayangkan gap besar antara USA-Eropa-China dengan negara kita. Visi mendaratkan manusia ke Mars adalah visi riil yg sedang dipersiapkan. Bandingkan dengan kita yg masih senang mendebat masalah-masalah remeh seperti perbedaan keyakinan, dan lain-lain. Secara khusus, film ini adalah pemanasan yang bagus bagi Ridley Scott untuk sekuel Prometheus : Paradise yang sudah ditunggu-tunggu.
Kutipan terbaik sepanjang film :
“FUCK!”
Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags dan telah disunting sesuai standar penulisan kami. Andapun bisa membuatnya di sini.