Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Impas, karya terbaru dari sineas aliran new wave Indonesia, Edwin (Babi Buta Yang Ingin Terbang, Postcard from the Zoo, Posesif). Setelah menyuguhkan film bertema petualangan kuliner dalam Aruna dan Lidahnya di tahun 2018, Edwin menghadirkan sajian sinematik eksotis lewat karya terbarunya yang merupakan hasil adaptasi novel berjudul sama karya penulis Eka Kurniawan.
Seakan mengajak audiens menyelami kehidupan di tahun akhir 1980an, Seperti Dendam, Rindu Dibayar Impas mengikuti perjalanan seorang pemuda jagoan kampung Ajo Kawir (Marthino Lio) yang memiliki kebiasaan menantang siapa pun untuk berkelahi tanpa rasa takut. Karena mental berani mati dan nyali besarnya itu, Ajo sering mendapat tawaran sebagai tukang pukul bayaran.
Hingga ia akhirnya berjumpa dengan lawan sepadannya dalam diri Iteung (Ladya Cheryl) bodyguard lokal sewaan target yang harus ia beri pelajaran. Meski sebelumnya mereka bertarung sengit, kedua berakhir dengan saling jatuh cinta.
Saat hubungan mereka berkembang, hubungan fisik Ajo dengan Iteung terhalang oleh fakta bahwa ia impoten, sebuah ‘rahasia’ yang tampaknya terkenal di antara teman-temannya. Terlepas dari masalah ini, keduanya akhirnya menikah. Namun, seiring waktu keduanya mendapati tidak bisa menghindari kesulitan dari realitas kekerasan dan brutal lingkungan di sekitar mereka.
Ada banyak contoh film yang sajiannya bagaikan memberikan penghormatan kepada pembuat film lain dari genre dan era yang berbeda, tetapi tidak bisa dipungkiri hanya sedikit yang berhasil mewujudkan esensi dari apa yang sebenarnya dirasakan dan terlihat dari film-film itu. Dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Impas, bisa dikatakan merupakan tribut ke era film bioskop 1980an tidak hanya dalam gaya dan narasi, tetapi juga dalam butiran estetika sebenarnya dari film itu sendiri.
Ditinjau dari pelbagai aspek yang ada, film ini tak ubahnya terasa seperti dibuat pada 1980-an, dengan desain teknis tambahan yang hanya meningkatkan daya tarik sinematiknya. Tak pelak dengan mudah dapat dilihat bahwa apa yang disajikan film dengan rating 21+ ini bukan untuk semua orang. Tapi, Seperti Dendam besar kemungkinan bakal menggairahkan mereka yang menggemari sinema aksi dari masa lalu, dan terbuka untuk latihan gaya yang ambisius dalam hal pembuatan film.
Salah satu perihal yang begitu kentara adalah bagaimana perhatian sang sineas beserta timnya terhadap detail dalam menghadirkan era 1980an di filmnya ini. Mulai dari teknik pengambilan gambar, referensi barang maupun peristiwa, hingga ke pemilihan skornya.
Sebagai sebuah film aksi, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas uniknya terasa tidak menitikberatkan pada adegan pertarungannya, walaupun berhasil mengemas sejumlah sekuens yang dieksekusi dengan impresif. Pun keputusan berani, dengan menjauhi gaya seni beladiri Pencak Silat yang sebenarnya mungkin merupakan salah satu unsur yang paling diharapkan dari film-film aksi baru tanah air, terutama pasca kepopuleran The Raid.
Adegan perkelahian di sini lumayan banyak, namun, alih-alih sebagai daya tarik utama, ini hanya dijadikan sebatas bumbu untuk eksplorasi maskulinitas, kebencian terhadap wanita, balas dendam, dan impotensi. Dan, nyatanya, hal ini terbukti membuahkan hasil signifikan dalam mengeksplorasi trauma yang dialami sang tokoh utama dan bagaimana hal itu makin berpengaruh besar pada perkembangan karakternya.
Adegan-adegan yang melibatkan hantu masa lalu sangat mencolok, dengan penampilan luar biasa oleh Ratu Felisha. Tetapi sebagian besar film masih dikhususkan untuk romansa Ajo dan Iteung, terutama sisi persamaan Ajo dan perjuangannya dengan impotensi.
Secara keseluruhan, pengalaman menonton Seperti Dendam adalah pengalaman sinematik yang di sisi lain mengejutkan namun juga sekaligus familier. Nuansa familier ini datang dari estetika film zaman dulu yang mungkin bagi sebagian kalangan akan memancing perasaan nostalgia, sedangkan kejutan datang dari angin segar di mana nuansa familier itu berubah.
Sejatinya, banyak alegori yang ada dalam cerita ini sebagaimana yang memang ditujukan oleh Eka Kurniawan dalam lembaran-lembaran kisah novelnya. Seperti, misalnya kritik terhadap pandangan agung masyarakat terhadap maskulinitas dan machoisme yang mengemuka pada era 1980an ataupun tentang bagaimana orang Indonesia telah menderita dari pergolakan sejarah yang penuh kekerasan dan seringkali represif.
Namun tidak perlu khawatir, bagi yang buta perihal novelnya, namun tertarik untuk menyaksikannya, Edwin beserta timnya tidak membuat film ini sangat rumit. Pendeknya, Anda tetap akan bisa mengerti jalan ceritanya, meski akan sangat membantu jika sudah membaca novelnya.
Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dapat disaksikan di ajang JAFF 16 , dan akan tayang di bioskop tanah air mulai 2 Desember 2021