Film Pesantren (“A Boarding School”) adalah sebuah karya dari Shalahuddin Siregar yang alur ceritanya membawa penonton melihat dari sudut pandang baru , akan sesuatu yang tak dikenal dan jauh dari keberadaan hidup sehari-hari , menjadi sesuatu hal yang ternyata dekat dengan keseharian dan tanpa disadari ternyata sangat familiar.
Fim ini memang merupakan film dokumenter yang dibuat khusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering timbul , sejalan dengan fenomena dunia dan Indonesia, yang seolah memandang “beda” , jika seseorang menyampaikan bahwa ia adalah lulusan dari pesantren. Label dan stigma yang diberikan pertama kali, seperti bahwa jika seseorang merupakan lulusan dari pesantrean pastinya yang dapat dilakukan adalah bekerja atau bergerak di bidang pengajaran Agama Islam belaka , dan bisa jadi pemikirannya hanyalah berkutat di area terbatas belaka, tidak solutif serta tidak mampu mengikuti perkembangan jaman.
Namun Shalahuddin Siregar melalui media gambar dan suara pun , menampilkan suatu wajah baru yang menghapuskan label dan stigma tersebut.
Mengambil lokasi film di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy , penonton dibawa kepada kehidupan para santri yang telah terpisah sedari kecil dari orang tuanya agar dapat memperoleh kesempatan lebih baik, yang tak mampu diberikan oleh orang tuanya, dikarenakan oleh beragam alasan.
Dengan jujur , kamera merekam keseharian kesibukan mereka yang berkutat mempelajari Agama Islam . Mereka terbagi menjadi beberapa tingkatan sesuai usia dan pemahaman secara pemikiran , dan mulai dibekali ilmu dari teori hingga diskusi secara terbuka mengenai kehidupan dan juga bagaimana cara berhubungan dengan manusia lainnya.
Keterbukaan pengajaran yang diberikan pada Pesantren Pondok Kebon Jambu Al-Islamy , tercermin dengan adanya kegiatan-kegiatan yang bisa jadi tak terbayangkan sebelumnya akan diselenggarakan di sebuah pesantren, sebagai contoh, ada kegiatan seni yang menampilkan kesempatan bagi para santri yang menyukai musik, stand up comedy , dan lain-lain hal sedang trend di masyarakat pada umumnya.
Mereka pun juga dididik agar dapat hidup mandiri, kritis serta solutif saat menghadapi masalah , serta dapat membaur menjadi sosok penerang bagi masyarakat di sekelilingnya, namun tetap tak meninggalkan kejenakaan dalam keseharian mereka.
Penonton seolah disapa dan diingatkan bahwa sesungguhnya mereka sama dengan masyarakat lainnya, mengikuti perubahan jaman, tantangan jaman , serta tuntutan mordenisasi , serta tidaklah semata hanya berkutat mempelajari Agama Islam tanpa memperhatikan perubahan yang ada ( menutup diri).
Sayangnya dengan keterbatasan dan juga adanya pandemi saat ini, film ini tak dapat tayang secara regular di bioskop dengan pertimbangan satu dan lain hal. Namun bagi yang sempat mengikuti pembukaan Festival Film Madani 2021, telah berkesempatan menyaksikan karya dokumenter dan akan tergerak melihat sisi lain yang bisa jadi selama ini tak terbayangkan sama sekali.
Keseharian yang ditampilkan memang secara jujur menampilkan baik kelebihan maupun kekurangan dari Pesantren Pondok Kebon Jambu Al-Islamy , ditampilkan melalui gambar-gambar wide open menyampaikan pesan banyaknya anak-anak yang berinteraksi dalam ruang pesantren yang terbatas . Suasana penuh juga dengan cepat menyeruak saat kamera terfokus pada dialog antara beberapa santri, hingga suasana dalam ruang kelas, ruang beristirahat dengan banyaknya barang yang memenuhi bidang gambar sejauh mata memandang.
Penonton baru dapat merasakan dan bisa bernafas lega , saat berada di luar pesantren, itupun tetap sesekali diberikan pandangan serupa saat berada dalam pondok pesantren.
Pemilihan gambar-gambar ini terasa , seolah dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa walaupun banyak yang belajar di pesantrean, namun secara general , lulusannya masih terasa kurang untuk tampil dan memberikan kontribusi untuk masyarakat pada umumnya.
Dalam beberapa dialog , juga disampaikan kemampuan awal. diri anak-anak yang datang untuk belajarpun terasa semakin rendah , saat mereka masuk tahun ajaran baru , jika dibandingkan tahun-tahun lampau , seolah memperkuat kembali label dan stigma yang telah diberikan selama ini .
Selain tampil sebagai film pembuka di Festival Film Madani 2021, film ini telah tayang perdana di festival dokumenter terbesar di dunia, IDFA 2019 yang telah berlangsung dari tanggal 20 November-1 Desember 2019.
Baca juga :Madani International Film Festival 2021