Kim Jong Kwan, sutradara dan penulis film Josee terinspirasi membuat Josee dari film yang berasal dari Jepang dengan judul “Josee, the Tiger and the Fish” atau Isshin Inudo’s (2003).
Namun bagi yang mengharapkan akan menemukan hal yang sama dengan film tahun 2003 , maka akan merasakan dan menemukan hal yang berbeda karena versi Kim Jong Kwan jauh berbeda dan memberikan nuansa baru.
Sinopsis :
Josee menceritakan mengenai seorang mahasiswa biasa bernama Young-seok (Nam Joo-hyuk) yang jatuh cinta pada Josee (Han Ji-min ), seorang wanita di kursi roda.
Terlepas dari prasangka sosial, keduanya jatuh cinta. Dengan dukungan Young-seok, Josee belajar untuk keluar dari zona nyamannya dan menghadapi dunia luar.
Hal yang menarik dari Josee versi Kim Jong Kwan ini adalah pengambilan gambar demi gambar yang menampilkan kondisi Korea apa adanya. Keindahan, kesuraman, dan kegelapan.
Fokus pengambilan gambar ini juga lebih dititik beratkan pada diri Josee. Hal ini terlihat dari tampilan yang selalu mengerucut kecil dan segi ruang yang tertutup rapat, seolah menceritakan inilah yang dirasakan oleh Josee dalam kesehariannya yang membatasi dunianya sendiri dengan dunia nyata. Dunia nyata yang ia kenal hanyalah merupakan refleksi dari imajinasi dirinya. Adapun fokus pengambilan gambar dari Young-seok terasa lebih melebar dan leluasa, walaupun saat bersama Josee, kembali pengambilan gambarnya mengerucut kecil dan terasa banyak penekanan pada segi ruang yang sempit.
Namun yang menarik adalah fokus kamera adalah selalu pada diri Josee, membuat seluruh pemandangan lain dalam satu gambar mengabur bahkan tidak jelas, walaupun tidak menghlangkan keindahannya. Seseorang yang menyukai fotografi pasti akan sangat menyukai film ini.
Sebenarnya pengambilan gambar semacam ini memang merupakan ciri khas dari Kim Jong Kwan, yang terlihat dari film-film terdahulunya yaitu Worst Woman (2016), The Table (2016) dan Chae’s Movie Theater (2017). Namun pada Josee, hampir semua fokus pengambilan gambar adalah pada sudut pandang Josee. Hal ini memberikan rasa tersendiri bagi penontonnya , memasuki dunia Josee yang suram namun penuh imajinasi akan versi dunia nyata miliknya. Jika dibandingkan, mungkin hal semacam inilah yang terasa ditemukan kesamaannya pada The Table, dimana meja selalu menjadi fokus utama sebelum alur cerita perlahan mengalir.
Fokus alur cerita juga lebih diutamakan pada segi kesuraman kehidupannya, jika mengharapkan banyak adegan ceria disini, maka harus bersiap merasa kecewa, karena hampir sebagian besar alur ceritanya lebih berfokus pada kesuraman hidup dan turunannya.
Namun Josee memberikan pemahaman berbeda akan hidup seseorang dengan disabilitas, yang memang selama ini selalu digambarkan dan dituturkan dari sudut pandang seorang yang terlahir normal, sehingga hal ini menjadi penarik untuk menonton hingga selesai.