Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags untuk lomba review film Deadpool dan sama sekali tidak mencerminkan pandangan editorial Cinemags. Anda juga bisa ikut serta dalam lomba review film Deadpool di sini.
“I can’t save my life, but I can save hers. Is that what superheroes do?”
-Wade Wilson
Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya Deadpool rilis di Indonesia lebih cepat dari negara asalnya. Saya sudah menonton film ini pada hari pertama rilis, and now I’m going to give you a short review of the movie.
Deadpool. Saya tidak terlalu mengenal tokoh ini sebelum beberapa tahun lalu, di saat ada isu bahwa Deadpool akan difilmkan. Walaupun tokoh ini begitu terkenal di komik, Deadpool memang kurang populer di kalangan pencinta film. Bahkan banyak yang tidak menyadari bahwa Deadpool (juga diperankan oleh Ryan Reynolds) pernah muncul pada film X-Men Origins: Wolverine pada 2009.
But guess what? Setahun terakhir ini entah kenapa semua orang mendadak mengenal Deadpool. Tokoh ini tiba-tiba diidolakan banyak orang, entah itu fans Marvel atau bukan, pencinta film atau bukan. Internet dipenuhi dengan celotehan orang-orang yang menanti-nanti munculnya sang “kostum merah”. Mungkin termasuk Anda.
Tenang, saya tidak akan men-judge Anda sebagai anak kekinian, fans musiman atau apa. Saya tidak heran ketika semua orang termasuk Anda tertarik untuk menonton film Deadpool. Yes, I am talking about the marketing technique, it’s perfect!
Poster-poster yang sangat menarik, trailer-trailer yang super lucu, dan kalimat-kalimat persuasif yang sangat memikat membanjiri semua media massa di seluruh dunia. Saya berani berkata bahwa marketing adalah salah satu faktor terpenting dari sebuah film, dan tim pemasaran Deadpool melakukannya dengan sangat sempurna. Mereka membuat Deadpool menjadi idola baru bagi masyarakat.
Okay, sekarang mari beralih ke konten dari film Deadpool.
Pertama, secara umum this movie is FANTASTIC. Tim Miller sang sutradara berhasil menciptakan film origin dari Deadpool dengan sangat ciamik. Sang tokoh disajikan dengan sangat apik, sangat sesuai dengan karakter aslinya yaitu, konyol, cerewet, slengean, dan super kocak. Saya pun bersyukur Deadpool diperankan oleh Ryan Reynolds yang sangat berhasil memerankan tokoh tersebut. Tokoh-tokoh protagonis pendukung seperti Vanessa (Morena Baccarin), Weasel (TJ Miller) dan sang antagonis Ajax (Ed Skrein) serta Angel Dust (Gina Carrano) pun memiliki chemistry yang kuat antara satu sama lain.
Kedua, the jokes. Lelucon-lelucon satir yang dikeluarkan sungguh cerdas dengan penyampaian punchline yang benar-benar meninju perut. Selain itu, timing dikeluarkannya jokes-jokes tersebut pun tepat. Tidak ada satupun lelucon di film ini yang mengganggu bahkan merusak scene yang sedang berlangsung. Tingkat kelucuan film ini tersebar di sepanjang film, tidak hanya dibagian-bagian tertentu saja. Semuanya dikeluarkan dengan tidak terduga, namun sangat pas, dan lucu. Seandainya Deadpool mengikuti ajang stand-up comedy, no doubt, he will kill the stage.
Ketiga, point of view berbeda dari yang lain. Selain kemampuan regenerasi dan weapon-expert, Deadpool memiliki satu “kekuatan super” yang tidak dimiliki oleh superhero manapun. Seperti yang saya sampaikan di judul, Deadpool tahu bahwa dia sedang difilmkan. Ya, tokoh ini sadar kamera, dan tak jarang mengajak penonton untuk berkomunikasi face-to-face di tengah cerita, bahkan saat bertarung. Entah kenapa, saya sebagai penonton merasa seperti mengobrol langsung dengan dia. Deadpool terasa benar-benar hadir di theater, dan ini benar-benar memorable.
Terakhir, adegan-adegannya. Percayalah ini sama sekali bukan film anak-anak, walaupun lucu. Adegan-adegan yang disajikan penuh omongan kasar, darah dan kekerasan. Namun jangan khawatir, walau beberapa adegan disensor, hal tersebut sama sekali tidak mengganggu. Metode sensor yang dilakukan tidak memotong adegannya, melainkan men-zoom di bagian tertentu untuk menghilangkan “sesuatu” yang dinilai tidak pantas. Bagi saya ini bukan masalah, dan kebrutalan Deadpool masih ditampilkan dengan sangat baik.
Satu hal yang sangat saya apresiasi dari film ini adalah plot cerita yang “dibiarkan” klise dan tipikal. Alur ceritanya bisa tertebak dan berakhir seperti film-film superhero biasanya.
Lho, lalu kenapa diapresiasi?
Haha, saya yakin ini disengaja. Karena, cerita yang berat justru akan merusak seluruh kelucuan yang dibangun susah payah sejak awal, bahkan karakter khas sang hero akan ikut-ikutan rusak. Ya, inti film ini bukan pada alur cerita, melainkan pada Deadpool itu sendiri. Film ini cenderung mengenalkan kepada penonton tentang siapakah Deadpool dan bagaimana karakternya (yang sangat sangat lucu itu).
Oh iya, saya tidak akan berkomentar banyak mengenai post-credit scene. Intinya, those are (ya, ada dua post-credit scene) the best post-credit scenes I’ve ever seen in my whole life. Scene yang sangat menyebalkan namun memorable, dan berhasil menipu seluruh penonton yang ada di studio. Ya, literally menipu. Gila. Great job for the post-credit scenes, Tim!
Kesimpulannya, the movie is more than I expected. Saran saya, segera tonton film ini sebelum tingkat kelucuannya berkurang gara-gara spoiler tentang Deadpool yang sebentar lagi akan berkeliaran di internet. Jangan ragu untuk menonton, because I’m sure you will love him so much. And if you already do, you will do more.
And don’t ever leave the room until the last post-credit scenes 🙂