Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags untuk lomba review film Deadpool dan sama sekali tidak mencerminkan pandangan editorial Cinemags. Anda juga bisa ikut serta dalam lomba review film Deadpool di sini.
Note: spoiler alert!
Beberapa tahun belakangan ini, banyak superhero yang menyerang baik dari kubu Marvel maupun DC. Berasal dari dunia yang sama, yaitu Marvel; Deadpool termasuk kubu X-Men yang “diasuh” oleh 20th Century Fox. Dengan banyaknya film super-hero bermunculan, persaingan pun sudah bukan lagi masalah jagoan siapa yang lebih hebat keahliannya atau visual-audio efek studio mana yang lebih bombastis; melainkan bagaimana seorang sutradara mampu menghadirkan sosok pahlawan yang berbeda — dare to be different.
Sutradara Tim Miller cukup percaya diri dengan membiarkan karakter Deadpool/Wade Wilson, yang diperankan oleh Ryan Reynolds, muncul sebagai sosok yang cerewet tiada taranya. Meski pergaulannya cenderung kelam, Wade punya cinta yang sangat besar terhadap Vanessa (Morena Baccarin). Maka, Deadpool muncul sebagai “love story”, alias kisah mengenai perjuangan cinta seorang pria. Demi cintanya inilah, Wade rela dijadikan kelinci percobaan oleh Ajax (Ed Skrein) yang ingin menciptakan pasukan super. Sayangnya, untuk mengaktifkan gen mutan yang disuntikkan dalam tubuh Wade; Wade harus disiksa sedemikian-rupa sehingga wajah dan tubuhnya menjadi seperti monster. Di sinilah, “love story” berubah menjadi HOROR.
Semakin horor dengan rating “R” yang dipasang, artinya banyak adegan sadis di film ini. Penonton yang mengira akan menyaksikan stereo-type super-hero, pasti akan terperangah menyaksikan kekerasan yang dibalut oleh humor sarkasme di film ini. Sedikit mengingatkan kita akan film Kick-Ass. Selain adegan sadis, banyak kata-kata jorok dan kasar. Jadi, sangat jelas sekali kalau Deadpool memang tampil berbeda dari kubu lain. Jika kubu lain menyajikan film superhero yang bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, Deadpool jelas tidak.
Sisi positifnya, Deadpool terasa segar dan menghibur bagi penonton yang sudah mulai jengah dengan banyaknya superhero yang bermunculan. Meski harus diakui, karena perbedaan budaya, tidak semua penonton dapat memahami humor yang dilemparkan oleh Deadpool. Bagi fans X-Men sendiri, ada beberapa humor “jujur” yang membuat kita tertawa terbahak-bahak, salah satu contohnya adalah ketika Colossus mengajak Wade bertemu Professor X, dan ia berkoar “McAvoy atau Stewart?”. Seperti yang fans tahu, Stewart adalah pemeran Prof. X lama, sementara McAvoy adalah Prof. X masa muda yang mulai muncul di X-Men:First Class.
Humor dan dialog yang terasa panjang ini memang merebut perhatian penonton, sehingga plot cerita yang disuguhkan pun agak tidak diperhatikan. Suatu kelebihan dan kekurangan, karena sebenarnya plot ceritanya biasa-biasa saja. Promosi yang dilakukan Deadpool tidaklah sia-sia, karena mampu memancing rasa penasaran publik, dan pada akhirnya memang menyajikan suatu film super-hero yang tidak terduga. Nilai 8/10.