Tuntas juga penantian saya selama kurang lebih 4 tahun lamanya untuk kembali melihat sang Kelelawar Gotham di layar lebar pasca trilogi epiknya garapan Christoper Nolan berakhir pada tahun 2012 lalu. Kini ia tampil kembali, dengan pemeran yang berbeda, berdampingan dengan sang “man of steel” a.k.a Superman, dalam sebuah film bertajuk Batman v Superman: Dawn of Justice yang disutradarai oleh Zack Snyder, yang juga membesut film Superman sebelumnya pada tahun 2013 berjudul Man of Steel dan film adaptasi komik DC lainnya yakni Watchmen pada tahun 2009.
Setting dari film ini terletak pada dua kota asal kedua tokoh utama, yakni Metropolis dan Gotham, meskipun dalam sebagian besar ceritanya film ini lebih banyak berkutat pada Metropolis. Tokoh Superman masih diperankan oleh Henry Cavill sebagaimana seperti dalam Man of Steel, sementara Batman kini diperankan oleh Ben Affleck yang meneruskan ‘tongkat estafet pemeran Batman’ setelah Christian Bale dalam Dark Knight Rises.
Cerita yang melatarbelakangi film ini adalah perseteruan idealisme dan nilai-nilai yang dimiliki Batman dengan Superman, dibumbui dengan intervensi Lex Luthor sebagai musuh bebuyutan Superman yang hadir di antara keduanya untuk mengadu domba dan menghancurkan Superman dalam prosesnya. Serangkaian pertarungan Superman dengan General Zod (diperankan oleh Michael Shannon) di Metropolis yang memakan puluhan korban jiwa di dalamnya membuat Bruce Wayne menyadari bahwa kekuatan maha dahsyat yang dimiliki oleh Superman merupakan ‘bom waktu’ potensial yang dapat mengancam keselamatan umat manusia itu sendiri di bumi.
Kehadiran Superman sebagai ‘Sang Penyelamat’ bagi sebagian umat manusia yang mengalami kesusahan di bumi, dapat berubah menjadi ‘Sang Penghancur’ saat dalam prosesnya ia abai dalam melihat potensi kerusakan yang ditimbulkannya terhadap sebagian manusia yang lainnya. Dualisme peranan Superman ini adalah ketakutan Batman, yang diamini oleh banyak orang yang menganggap dia sebagai ‘false god‘.
Sementara dalam diri Superman, pergelutan batin terus terjadi. Ia ingin selalu memberikan yang terbaik pada semua orang di muka bumi ini dengan menolong dan menyelamatkan mereka, namun kenyataan berkata sebaliknya, banyak orang yang merasa dirugikan olehnya karena ia dianggap selalu bertindak dengan keputusannya sendiri dan membawa kehancuran di sekitarnya.
God complexities yang dimiliki oleh Superman ini seharusnya dapat menjadi fondasi dasar dan kekuatan bagi cerita Batman v Superman: Dawn of Justice, namun berdasarkan pengamatan penulis, dari plot keseluruhan film berdurasi 150 menit ini tidak banyak yang dapat menjelaskan tentang kompleksitas tersebut.
Pertanyaan mengenai “Apakah Superman adalah Tuhan di antara kita?” merupakan tema besar yang (sayangnya) terus berputar-putar dalam kurang lebih 45 menit awal hingga 60 menit pertengahan dari film ini, dan tiba-tiba terputus begitu saja saat Lex Luthor hadir dengan rencana jahatnya untuk menghidupkan kembali General Zod dari kematiannya. Tidak ada kejelasan dan tujuan yang ditunjukkan dari plot demi plot, semua plot terkesan disusun secara terburu-buru atau tidak terstruktur dengan baik. Lagi-lagi, terus berputar-putar dalam isu kompleksitas Superman sebagai Tuhan, melompat-lompat dari subplot ke subplot lainnya, hingga sampai pada suguhan utama dalam film yakni pertarungan dua superhero dalam ketatnya baju yang mereka kenakan, dan sudah, berakhir begitu saja.
Ide dasar yang ingin disampaikan mengenai Superman dan kompleksitas Ketuhanannya akhirnya hanya tampil dalam prosesi sidang pengadilan yang diakhiri dengan ledakan dan terbakar tanpa bekas dalam api.
Kelemahan lainnya, menurut penulis, adalah Lex Luthor. Dari sekian banyak penampilan awkward Ben Affleck sebagai Batman maupun Lois Lane-nya Amy Adams yang terkesan clueless, penampilan paling parah adalah Jesse Eisenberg dengan Lex Luthor. Karakter Lex Luthor terkenal penuh karisma, memiliki tatapan dingin, apatis, dan pragmatis, malah menjadi Lex Luthor yang terkesan cengeng, terlalu banyak berkoar-koar, tidak mengancam, dan terlalu kekanak-kanakan. Jujur, melihat Lex Luthor disini memberikan kekecewaan tersendiri bagi saya.
Meskipun demikian, bukan berarti Batman v Superman: Dawn of Justice adalah film yang tidak layak untuk anda tonton. Anda akan terpukau dengan penampilan brilian Gal Gadot sebagai Wonder Woman. Karakter petarung Wonder Woman yang kuat tergambarkan secara baik, meskipun (sayangnya) ia hanya mendapat screentime yang tidak banyak dalam film ini. Mari kita tunggu penampilan solonya dalam filmnya yang dirumorkan akan rilis pada bulan Juni tahun depan. Soal CGI dalam film ini, bagi saya pribadi, tidak terlalu wah meskipun masih dapat dikatakan cukup spektakuler. Film ini pun terbebas dari konten-konten ‘dewasa’, penggambaran kekerasannya pun dengan cerdas dapat ditutupi dengan baik oleh special effects tanpa banyak unsur darah disana-sini, dan secara bahasa masih terkontrol, sehingga para orang tua tak perlu khawatir dengan anak-anaknya yang menonton film ini.
Menonton film ini, bagi saya, seperti menghadiri undangan untuk sebuah pesta meriah, yang di dalamnya disuguhkan makanan dan minuman mewah kelas atas, dipenuhi dengan tamu-tamu undangan berjas dan bergaun indah. Namun setelah pesta meriah itu, semua tamu serta merta langsung pulang, makanan dan minuman beserta dekorasi pesta langsung dibereskan begitu saja. Tidak ada kesan yang berbekas pada diri saya, saya hanya merasakan lelah dan, lebih parah lagi, kosong setelah merayakan pesta tersebut. Begitupun perasaan saya saat beranjak dari kursi teater bioskop setelah menonton film ini.
Pada akhirnya, mengeluarkan uang anda di akhir minggu panjang ini untuk menonton Batman v Superman: Dawn of Justice di bioskop-bioskop terdekat sangat saya rekomendasikan untuk menghibur diri atau menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Namun bagi anda yang berniat untuk menonton film ini dengan keseriusan dan ekspektasi tertentu, saya sarankan untuk datang tanpa berharap banyak.