Franchise Charlie’s Angels layar lebar kembali menggeliat. Sebagai penyegar ingatan, pada tahun 2000, lewat arahan sineas McG, Columbia Pictures pernah menghadirkan versi layar lebar dari dari serial televisi sukses lawas kondang di era 1980an yang berjudul sama.
Beramunisikan tiga aktris yang pada masa itu namanya tengah jaya-jayanya: Drew Barrymore, Cameron Diaz, dan Lucy Liu, Charlie’s Angels hadir sebagai paket tontonan bertema spionase yang lumayan menghibur. Akibatnya, setelah aksi perdana mereka, sempat muncul kisah kelanjutannya, yang mengusung tajuk tambahan Full Throttle yang dirilis tiga tahun kemudian.
Sekarang, di tahun 2019 ini, untuk kali ketiganya, para ‘bidadari’ cantik yang bernaung di sebuah agensi spionase swasta ini kembali beraksi di installment paling gresnya. Film ini digawangi oleh Elizabeth Banks yang untuk kali pertamanya membesut film bergenre aksi, juga sekaligus merupakan upaya kedua studio Sony Pictures menghidupkan kembali franchise-franchise tersukses mereka, yakni Men in Black, Ghostbusters, Bad Boys, Jump Street, dan Charlie’s Angels, setelah beberapa bulan lalu merilis Men in Black – International.
Di babak terbarunya ini, Banks mempertemukan aktris cantik yang belum lama ini pemeran Jasmine di live action Aladdin, Naomi Scott dengan Kristen Stewart, bintang dari saga Twilight yang dengan imej barunya namanya kembali naik daun. Belum ditambah deretan nama tenar yang ikut ambil bagian.
Sejak diinisiasi untuk pertama kalinya, Charlie’s Angels bertujuan memberi pelayanan jasa keamanan dan investigasi pada para klien pribadinya. Selalu bisa menyelesaikan misi yang diberikan para kliennya dengan sangat memuaskan, bisnis biro jasa spionase yang bernaung di Towsend Agency ini berkembang pesat ke kancah internasional.
Mereka merekrut gadis-gadis paling pintar dan berbakat untuk ditempa dalam regu-regu Angels di bawah panduan masing-masing Bosley untuk menyelesaikan misi-misi paling berat di seluruh dunia. Di antara para Angels itu yang paling menonjol adalah Sabina Wilson (Stewart) dan Jane Kano (Balinska). Tak ayal, saat Elena Houghlin (Scott), seorang mekanik sistem muda menjadi incaran banyak pihak karena mampu mengetahui bahwa sistem teknologi baru bernama Calisto bisa berubah menjadi teknologi berbahaya di tangan yang salah, dua Angel inilah yang ditugasi menjalani misi tersebut dan bertaruh nyawa untuk mencegah kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika mereka gagal.
Merupakan debut Elizabeth Banks membesut film berskala blockbuster, sejatinya kinerja Banks di babak terbaru Charlie Angels lumayan menjanjikan. Kentara paham dengan daya tarik yang dimiliki franchise dari serial televisi lawas sukses ini, sang sineas menyuguhkan formula yang sejatinya pas untuk saga ini. Yakni aksi little bit over the top para Angel dipadu dengan stereotype buddy cop film.
Banks juga memberi sentuhan berani dan kreatif. Pasalnya, alih-alih mereboot (langkah paling banyak ditempuh untuk menghidupkan kembali saga lawas-red), Banks malah memilih jalur tie-in dengan menghubungkannya dengan versi Charlie’s Angels sebelum-sebelumnya, tidak hanya versi film terdahulunya bahkan sampai ke serial aslinya sekalipun.
Pun juga dengan pilihan plotnya. Dibuat sangat ringan, konflik yang dikedepankan pun jauh dari kesan serius, yang mana malah terkadang menjadi kelebihan tersendiri bagi film-film yang mengusung genre sejenis.
Dari segi para pemainnya, meski tidak luar biasa, mayoritas enak untuk disimak. Dari segi para Angelnya, duo Kristen Stewart dan bintang muda Ella Balinska mampu menjadi highlight utama, meski untuk Naomi Scott cenderung kewalahan mengimbangi dua lawan mainnya. Sementara, di sesi pemain pendukung, Patrick Stewart, Elizabeth Banks sendiri, dan Sam Claflin menssuport dengan baik, dan Chris Pang mampu menjadi scene stealer.
Yang menjadi poin paling kuat dari film ini adalah modifikasi dan tambal-sulam yang dicurahkan Banks di sini. Ia mampu menampilkan balutan kisah feminis dan semangat girl power yang terasa natural dan sesuai dengan situasi masa kini.
Baik itu melalui busana, bentuk interaksi antar mereka maupun sifat mereka, tanpa ada kesan direndahkan oleh momen yang memerlihatkan ketidaksempurnaan maupun ketidaknyamanan mereka, atau kesan dieksploitasi keseksiannya. Sementara dari skrip yang ditulisnya sendiri, memungkinkan Banks dapat menyuguhkan porsi adegan aksi dengan skala lumayan besar.
Selain faktor editing yang menyebabkan beberapa adegan kurang intens dari semestinya, kualitas dialog dalam skripnya adalah kelemahan paling kentara di sini. Untungnya, ada sesi dialog berkaitan dengan referensi budaya populer yang rasanya pantas dinobatkan sebagai adegan terbaik di film ini.
Secara overall, mungkin pada akhirnya Charlie’s Angels besutan Elizabeth Banks ini hasilnya bagi sebagian kalangan tidak lebih baik dari hasil besutan terdahulu McG. Namun, untuk ukuran penyutradaraan film blockbuster pertamanya, keberanian Banks menyajikan Charlie’s Angels dengan segala amunisi serta potensi yang dimilikinya berdasarkan perspektif pribadinya ini dan memoles materi IP yang tadinya kehadirannya tidak diinginkan menjadi sajian menjanjikan, layak mendapat apresiasi lebih.