Setelah rilis Man of Steel (2013), sutradara Zack Snyder memberikan bocoran tentang rencana pembuatan Batman v Superman: Dawn of Justice, yang akan mengacu pada pakem film Man of Steel dan seri komik The Dark Knight Returns karya Frank Miller, dengan sedikit penyesuaian.
Hal ini membuat heboh penggemar mengingat kedua superhero merupakan tokoh paling menonjol DC Comics, dengan popularitas yang sama-sama tinggi.
Film digadang-gadang menghadirkan pertarungan terhebat abad ini, di mana kedua superhero beradu jurus adiluhung. Namun jika ditilik lebih dalam, pertarungan ini sebenarnya tidak adil alias jomplang.
Bagaimanapun Superman adalah alien dengan kemampuan luar biasa. Tubuh serupa baja, dapat terbang, tenaga dahsyat, mata laser dan x-ray, dapat berlari cepat, dan pendengaran tajam. Kemampuan itu tidak dimiliki manusia biasa sehingga Superman pantas disetarakan dengan dewa.
Bandingkan dengan Batman yang manusia biasa. Saking biasanya, Batman tidak tepat disebut superhero. Dia tidak punya kekuatan super apa pun. Tapi dia memiliki skill luar biasa melalui latihan dan tempaan keras guru bela dirinya, Ra’s Algul (trilogi film The Dark Knight). Tidak heran jika Lex Luthor menyebutnya pertarungan, “Black and blue. God versus man. Day versus night.”
Di situlah sisi menariknya. Sejak awal film, kita diajak melihat dunia melalui sudut pandang satir Bruce Wayne. Bruce Wayne adalah representasi kita sendiri, manusia bumi yang biasa-biasa saja.Kita diajak berpikir keras bagaimana cara menghentikan kekuatan mengerikan yang terbang hilir mudik di atas rumah kita, yang bertarung dengan makhluk sejenisnya yang juga mengerikan. Apakah ada jaminan alien itu tidak akan berbalik menyerang kita nantinya? Tidak ada. Maka segala daya dan upaya dilakukan Bruce Wayne/Batman untuk menemukan titik kelemahan Superman, demi menciptakan rasa aman.
Batman beruntung alien yang dilawannya adalah Superman. Alien ini tidaklah jahat. Dia sudah “terinfeksi” moralitas ala manusia bumi melalui tangan Jonathan dan Martha Kent. Superman hanya akan melawan ketika terdesak—atau dihasut oleh tokoh jahat. Namun Superman juga beruntung manusia yang dilawannya adalah Batman. Dengan masa kecil yang kelam, Batman dapat saja menjadi supervillain yang mengerikan dan tanpa ampun. Batman justru menunjukkan bahwa ia pun punya hati dalam suatu adegan.
Ini menjadi nilai penting film Batman v Superman: Dawn of Justice. Orang boleh memiliki kesan berbeda-beda tentang tingkat ke-greget-an jalan cerita ataupun pemilihan Jesse Eissenberg sebagai Lex Luthor. Tapi sebagai penggemar komik/film superhero sekaligus penulis novel, saya memerhatikan benar pentingnya penyampaian nilai-nilai kebaikan dalam cerita. Bukan untuk menjadikan cerita normatif apalagi dogmatis, tetapi itulah yang bakal dikenang dari sebuah karya. Saya menyebutnya ruh atau semangat. Saya jarang menemukannya di film laga sejenis , yang biasanya hanya mengandalkan adegan jedar-jeder dengan bantuan CGI kelas wahid. Saat film usai, kita tidak mendapatkan kesan apa-apa kecuali komentar, “Wah, CGI-nya keren,” atau, “Jalan ceritanya bagus,” Habis itu sudah, kita akan melupakan segala-galanya, seperti baru saja mimpi siang bolong.
Batman v Superman: Dawn of Justice berbeda. Saya merasakan ruh/semangat itu membetot kuat, terutama sejak Man of Steel dirilis. Jadi, ya. Saya rekomendasikan Anda untuk menonton Man of Steel lebih dulu agar paham maksud saya. Saya juga rekomendasikan film ini ditonton bersama seluruh anggota keluarga, sebagai bahan pembelajaran tentang kegigihan, harapan, dan kepercayaan yang disajikan tanpa unsur menggurui.
Nah, selamat menonton!