Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags dan tidak mencerminkan pandangan editorial Cinemags. Andapun bisa membuat artikel serupa di sini.
Terminator Genisys yang dirilis pada 2015 silam, mungkin bagi generasi moviegoers masa kini, umumnya dipandang sebagai salah satu seri yang menarik, seru dan menghibur. Terlebih sang mega bintang yang menjadi kunci dari keberhasilan franchise film tersebut, Arnold Schwarzenegger kembali hadir, meski sudah menua dan memang sengaja dibuatkan plot cerita sesuai dengan penampilan fisiknya. Tanpa bermaksud menyerang dan mengurangi rasa hormat, saya sebagai salah satu penggemar franchise nya, Terminator Genisys adalah ‘sebuah bencana’ dengan adanya pembelotan akan orisinalitas dan kontinuitas cerita. Hal ini diperkuat berdasarkan tolak ukur kualitas, dengan nilai kritik paling rendah dari seluruh seri Terminator. Awal “bencana” bermula setelah perilisan Terminator Salvation (2009), seri pertama dari The New Terminator Trilogy, sang pemilik franchise, The Halycon Company mengalami kebangkrutan, lalu menjualnya. Adalah Skydance Production yang akhirnya memiliki franchise, lalu serangkaian perubahan besar pun dilakukan, terkait nasib kelanjutan cerita di film berikutnya. Mungkin adalah hal yang biasa di Hollywood, bagi para produser atau eksekutif studio yang berorientasi kepada profit pendapatan suatu film, serta ingin meraih segmen market yang lebih luas, terkadang tidak diimbangi dengan faktor kesetiaan pada orisinalitas serta kualitas. Dibuangnya ide kelanjutan cerita dari Terminator Salvation, melahirkan adanya perubahan konsep secara radikal, sehingga dilakukannya re-boot, suatu istilah yang tak asing lagi di era 2000an hingga kini, serta akan dibuatkan trilogi yang baru. Ide berbasis cerita dari dua seri pertamanya, untuk menghasilkan suatu remake dengan terbentuknya plot linear yang menjadikan alternatif dari orisinalitas yang seharusnya tidak boleh ‘diganggu’. Meski Arnold kembali hadir (memerankan karakter the Aging Terminator) serta direstui bahkan direkomendasikan oleh sang kreator film, James Cameron, Terminator Genisys tetap tidak dapat mencapai hasil yang ideal, baik dari kritik, maupun pendapatan. Suatu pertanda yang tampaknya menjadi ancaman pembatalan rencana trilogi di masa depan. Banyak hal signifikan yang menghancurkan Terminator Genisys, selain perubahan total plot cerita, lemahnya akting akan karakteristik Sarah Connor, John Connor dan Kyle Reese, serta banyaknya pemakaian efek Computer Generated Imagery (ingat adegan T-3000 menyamar jadi John Connor?) yang berkesan seperti film animasi. Terminator Genisys, menurut saya adalah suatu yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Marilah kita berandai-andai. Kita melihat ke ‘belakang’ lalu ke ‘depan’, dengan adanya kontinuitas cerita yang bisa kita nikmati dari awal hingga akhir. Esensi kekuatan dari saga Terminator adalah ide brilian dari cerita itu sendiri, berkaitan dengan sirkulasi waktu dan kompleksitasnya. The Terminator (1984) banyak dipuji kritikus, sebagai terobosan fiksi ilmiah dengan tema cyborg, baik dari segi ide cerita, aksi laga dan efek spesial. Ceritanya, tahun 2029, terjadi genosida manusia oleh Syknet, suatu sistem komputerisasi pertahanan militer yang dirasuki virus, hingga akhirnya melawan manusia. Adalah John Connor memimpin pemberontakan untuk melawan Syknet. Maka Skynet mengutus satu cyborg menyerupai manusia (Terminator) ke masa lalu (tahun 1984) untuk membunuh ibu dari John Connor (Sarah Connor), sehingga jika berhasil, maka tidak ada John Connor, dan Skynet yang menguasai dunia. Namun John Connor tidak mau kalah dengan mengirim salah satu prajurit andalannya, Kyle Reese untuk melindungi ibunya di masa lalu. Dari situlah awal saga Terminator dimulai. Setelah film tersebut sukses, James Cameron kemudian membuat sekuelnya yang sukses besar secara pendapatan dan kritik, yakni Terminator 2 : Judgment Day (1991). Plot cerita terjadi di tahun 1997, yang mengisahkan sepak terjang Sarah Connor untuk melindungi John Connor kecil dari ancaman Terminator versi anyar, T-1000 yang dikirim lagi oleh Skynet dari masa depan. Namun John Connor di masa depan, tak mau kalah lagi, dengan mengirimkan Cyborg T-800 model 101, hasil program ulang dari T-800 terdahulu dari pihak Skynet (model yang mirip yang dikirim ke tahun 1984) untuk melindungi dirinya di tahun 1997. Misi John Connor, Sarah Connor yang dibantu Terminator T-800 pada akhirnya adalah menghancurkan Cyberdine System yang menjadi cikal-bakal Skynet di masa depan (ingat tangan endoskeleton di akhir cerita The Terminator?). Lalu kritik mulai menurunkan nilai kualitas di seri berikutnya, pada perilisan film Terminator 3 : Rise Of The Machines (2003), disutradari oleh John Mostow, setelah James Cameron tidak ingin terlibat lagi. Masih memakai formula yang sama dari seri kedua, plot cerita di tahun 2004, Cyberdine System dihidupkan kembali dan dikembangkan menjadi Skynet oleh pihak militer. Diceritakan, di masa depan, John Connor terbunuh oleh Terminator model T-850, istri John lalu memprogram ulang dan mengirimnya ke tahun 2004, untuk melindungi John Connor yang telah beranjak dewasa dari ancaman Terminator T-X yang lebih canggih, kiriman Skynet dari masa depan. Kali ini John Connor ditemani Katherine Brewster yang bakal menjadi istrinya untuk mengusung misi yang lagi-lagi, harus menghancurkan Skynet, untuk mencegah “perang nuklir”. Memang titik lemahnya, adalah memakai formula yang sama, yakni pengulangan dari seri kedua. Penurunan kualitas terasa, seperti kurangnya humor segar, plus lemahnya eksplorasi akting karakter John Connor dan Katherine Brewster. Namun kekuatan film ini adalah di akhir cerita yang menjadi yang, menurut saya cukup emosional.
Adalah sutradara McG yang kemudian melanjutkan franchise, dengan rencana pembuatan trilogi Terminator yang kedua. Bagian pertama dari trilogi yang dimaksud, menghasilkan Terminator Salvation (2009). Plot cerita di tahun 2018, pada masa sesudah perang nuklir dan Skynet mulai menguasai manusia. Tokoh sentralnya yaitu John Connor yang menjadi pemimpin manusia melawan Skynet. Juga hadir karakter misterius, Marcus Wright. Di film ini juga, dipertemukannya John Connor dengan Kyle Reese muda, cikal bakal ayah John di masa lalu (tahun 1984). Menurut berbagai sumber, rencananya di seri kelima, McG akan memunculkan karakter Cyborg T-1000 (Cyborg antagonis di film Terminator 2). Mungkin saja, di adegan awal film, kemungkinan terjadinya pengiriman Cyborg T-800 dan Kyle Reese dewasa ke tahun 1984 (film The Terminator). Dilanjutkan dengan pengembangan cerita seputar T-1000 yang mungkin di akhir film dikirim ke masa lalu (film Terminator 2). McG juga menyatakan, bahwa pengembangan cerita selanjutnya di seri keenam, karakter John Connor dibunuh oleh T-850, dan Kate Brewster memprogram ulang untuk dikirim ke masa lalu (film Terminator 3). Karakter T-X dimunculkan, dan anak-anak dari John dan Kate juga menjadi tokoh sentral dalam menentukan masa depan manusia melawan Skynet. Memang film Terminator Salvation (2009) mengakibatkan penurunan secara pendapatan dan kritik, namun, eksistensi dan orisinalitas franchise tetap terjaga dengan adanya kontinuitas plot cerita. Meski ada yang berpendapat, seharusnya franchise berakhir di Terminator 3 : Rise of the Machine (2003). Dengan adanya kompleksitas pengaturan akan sirkulasi waktu, yakni permainan “merubah sejarah” antara mesin dan manusia, yang diawali dari cerita di seri pertama saga Terminator, maka “mungkin” pada saat itu akan diakhiri dengan seri keenam (jika tidak ada Terminator Genisys). Kalau di trilogi pertama film, plot cerita waktu berjalan di masa kontemporer (yakni tahun : 1984, 1997, 2004), maka di trilogi kedua, dengan pengaturan waktu di masa depan (mulai dari tahun 2018 hingga lebih dari tahun 2029), akan terjadi semacam sirkulasi waktu dan time travel, menuju pada tahun 1984, 1997, 2004. Kelanjutan akan saga Terminator sejak dirilisnya Terminator Salvation (2009), sejatinya adalah suatu bentuk kesetiaan akan orisinalitas. Resiko yang harus diambil, namun tetap merupakan satu kesatuan solid akan keabsahan identitas Terminator. Seandainya hal itu terjadi, menurut saya franchise Terminator, jika ditinjau dari tema cerita mengenai time travel mungkin saja akan bersanding dengan trilogi Back To The Future, dan jika ditinjau dari kontinuitas cerita berdasarkan kronologi waktu, mungkin tak akan kalah dengan double trilogy-nya Star Wars.