Pernahkah Anda menyaksikan film drama besutan Sofia Coppola yang berjudul Lost in Translation? Dalam film yang memasang Bill Murray dan Scarlett Johansson ini berkisah mengenai persahabatan unik namun kompleks antara dua individu asal Amerika yang sama-sama merasa terasing kala berada di Jepang. Kurang lebih gambaran dan tone itu pula yang disajikan di film Last Life in the Universe yang dalam bahasa Thailand judulnya berarti “A small/little Love Story that is a lot” ini.
Di Last Life in the Unuverse ini dikisahkan Kenji (Asano Tadanobu) adalah pustakawan asal Jepang yang bertugas di Pusat Kebudayaan Jepang di Bangkok. Tinggal sendirian, membuat pria yang gemar menyendiri ini menjadi depresi, Pasalnya, di balik sifat pendiam dan kesederhanaannya, Kenji ternyata menyimpan tabir yang tidak diketahui banyak orang, Ia mempunyai masa lalu yang kompleks yang membuat dirinya mengontrol kehidupan sekarangnya dengan gaya hidup seorang pengidap OCD.
Dikarenakan beban batinnya, ia sering berusaha untuk mengakhiri hidupnya, namun, kala tengah melakukan hal itu, ia kerap mendapat gangguan dari orang-orang yang ada di sekitar kehidupannya, terutama salah satu saudaranya; Yukio yang menjadi anggota yakuza dan meninggalkan Jepang untuk kabur dari atasannya, yang putrinya sempat ia tiduri.
Sedangkan, Noi (Sinitta Boonyasak) adalah gadis lokal yang dalam jangka waktu satu minggu lagi akan pergi ke Jepang untuk meningkatkan kariernya. Gadis yang tidak suka membersihkan tempat tinggalnya ini tengah dirundung masalah ketika adik kandungnya; Nid (Laila Boonyasak) ternyata sempat tidur bersama pria yang tengah dekat dengannya.
Sebuah peristiwa tragis mempertemukan kedua orang yang berbeda sifat dan kebiasaan ini. Sama-sama kehilangan saudara kandung, di antara dua orang ini mulai terjalin hubungan persahabatan sementara yang unik. Apalagi, setelah Kenji meminta pada Noi agar ia bisa tinggal di rumah sang gadis.
Meski awalnya satu sama lain merasa canggung, tidak butuh waktu lama bagi pasangan yang berbeda bak langit dan bumi (Kenji adalah pribadi yang sangat terorganisir, sedangkan Noi adalah pribadi yang acak-acakan) ini merasa tertarik satu sama lain. Perbedaan mereka juga mulai mempengaruhi satu sama lain. Namun, bagaimana kelanjutan hubungan mereka, ketika saat perpisahan itu tiba dan masa lalu Kenji mulai mendatangi?
Dikemas secara artistik (dalam film ini Ratanaruang menyisipkan beberapa adegan surreal) dan sinematografi yang menawan, membuat film yang boleh dikata minim dialog arahan Pen-Ek Ratanaruang ini memiliki mutu di atas rata-rata. Last Life in the Universe tidak mencoba untuk menjadi film yang sempurna, namun justru di situlah letak daya tariknya, di mana tema kekosongan yang dirasakan oleh para tokoh sentralnya dapat hadir secara gamblang di sini.
Dua pemain utamanya: Asano dan Sinitta Boonyasak juga bisa dikatakan berhasil membentuk chemistry yang lumayan apik. Last Life in the Universe sendiri sukses mendapatkan kredit yang positif di mata insan perfilman internasional, di mana film yang menjadi duta negeri gajah putih di ajang Oscar tahun 2003 ini kerap masuk nominasi baik untuk kategori pemain maupun para praktisi di belakang layarnya dalam berbagai ajang festival film internasional yang diikutinya. Beberapa karyanya yang lain, sempat terpilih menjadi duta utusan negaranya di kategori Best Foreign Film ajang Oscar, seperti: Ruang Talok 69, Monrak Transistor, namun melalui Last Life in the Universe inilah nama Pen-Ek Ratanaruang mulai dikenal sebagai sineas Asia berbakat dan pelopor dan penghembus aliran new wave di perfilman Thailand, bersama Wisit Sasanatieng dan Apichatpong Weerasethakul.
Last Life in the Universe dapat disaksikan secara streaming on demand di Amazon Prime Videos