Sebelum memulai pembahasan panjang mengenai bagian franchise DCEU paling gres yang kehadirannya sudah diantisipasi banyak kalangan, Justice League saya yakin bahwa apapun hasil penilaian yang diberikan di sini, besar kemungkinan akan kembali menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, berkaca pada fenomena Batman v Superman tahun lalu, boleh jadi apa yang akan dikemukakan di sini bakal diiyakan oleh sebagian pembaca namun bakal tidak sedikit pula yang punya penilaian berbeda. Dan, rasanya, memang itulah karakteristik yang membedakan film-film superhero dari kubu DC setelah awal dirintisnya fondasi awal DCEU lewat Man of Steel, terutama dengan film-film dari kubu rival mereka, Marvel.
Padahal, jika ditinjau dari aspek kaliber popularitas tokoh-tokohnya, sejatinya DC lebih unggul, karena yang mereka tampilkan adalah tokoh-tokoh paling populer di jagat superhero global. Namun, apa lacur pada praktiknya jauh dari ibarat memutar telapak tangan. Bahkan, meski akhirnya bisa merealisasikan pertemuan epik Superman dan Batman (plus Wonder Woman sekaligus) proyek yang semestinya berlevel spektakuler ini menuai hasil yang dirasa banyak kalangan jauh di bawah harapan. Masa depan DCEU juga makin terperosok saat kepingan lainnya yang juga menjadi film yang banyak diantisipasi para penikmat film superhero, yakni Suicide Squad malah hasilnya makin menambah suram prospeknya. Sebelum asa kembali terbuka berkat performa di luar dugaan film solo Wonder Woman, yang menyiratkan masih besar peluang DCEU melaju ke arah lebih baik.
Berbicara mengenai Justice League, tidak kalah ambisiusnya dengan BvS, menaruh kepercayaan bangku penyutradaraannya pada Zack Snyder, DC kembali tancap gas dengan langsung menampilkan kontribusi signifikan tiga wajah baru mereka, yang masih belum berkesempatan tampil di masing- masing film solonya, yakni Flash, Aquaman, dan Cyborg berkolaborasi dengan muka-muka lama di BvS. Sementara, jalinan kisahnya meneruskan apa yang terjadi di film sebelumnya itu.
Berbeda dengan BvS yang terasa kelam dan serius, walaupun citarasa Snyder masih kental terasa, terutama di paruh awal cerita, secara keseluruhan Justice League cenderung ringan dan menghibur, dengan sisipan dialog-dialog memancing tawa. Penyebabnya adalah kali ini sang sineas tidak sendirian dalam mengarahkannya. Karena disebabkan permasalahan pribadi yang tengah ia hadapi, Snyder harus ‘berbagi’ peran dengan Joss Whedon dalam menyelesaikan proyek ini. Hasilnya, kekhasan Snyder yang bergaya art dan comic frame berpadu dengan gaya komikal Whedon (Ingat The Avengers?). Ibaratnya, kopi hitam yang cenderung pahit di dalamnya diberi susu kental manis dalam takaran yang signifikan, begitulah hasil akhir Justice League.
Hanya permasalahannya, tentu terletak pada penyuka minumannya sendiri. Bagi yang menyukai ‘kopi’ kelas berat, besar kemungkinan rasa manis susu terasa mengganggu sedangkan bagi yang lebih toleran, boleh jadi akan merasa mendapat sensasi baru.
Dalam kasus Justice League, di sinilah letak kontroversi kali ini. Di mana, keberpihakan siapapun yang menyaksikannya bakal diuji. Pasalnya, bagi yang sudah kadung familier dengan gaya Snyder atau kalangan penyuka komik DC berani taruhan cenderung mengganggap joke-joke dan tambal sulam yang disuntikkan Whedon bukannya memberikan angin segar melainkan bak duri dalam daging, yang lebih baik diminimalisir atau jika memungkinkan ditiadakan karena mengusik kenikmatan. Sedangkan, bagi kalangan awam besar kemungkinan bakal lebih terhibur dengan sajian Justice League dibanding film-film DCEU lainnya.
Sebagai muara awal fase pertama DCEU, meski terkesan dipaksakan (mengingat baru Superman dan Wonder Woman yang sudah memiliki film solo) JL bisa dibilang berhasil dalam mengeksplorasi kemungkinan yang akan mereka rambah dalam cinematic universe-nya. Masing-masing tokoh superhero berkesempatan mendapat momen briliannya tersendiri sembari membangun chemistry yang apik satu sama lain. Sangat mudah melihat para aktor sebagai karakter yang mereka mainkan, bahkan untuk tiga ‘muka baru’ yang sebelumnya hanya mendapatkan perkenalan sekilas saja.
Dari segi penyajiannya, seperti sudah disinggung di atas, kontribusi Whedon menyebabkan tone JL mengalami perubahan lumayan signifikan. Tema yang dikedepankannya, tidak seberat dan sekompleks BvS, serta alur ceritanya lebih mudah dicerna. Tidak ada lagi momen komik ambigu yang memancing perdebatan seru publik khususnya yang membaca komik (contohnya adegan kedatangan Flash dari masa depan ke hadapan Bruce Wayne, adegan Knightmare).
Sayangnya, hal ini justru membawa malapetaka tersendiri, karena dalam menghasilkan cerita yang lebih sederhana, menjadikan plot kali ini terasa dangkal. Tokoh antagonis utama yang dihadirkan pun lemah impresinya. Yang juga mengecewakan, tidak ada sama sekali adegan di sini yang menjawab dua adegan ambigu dalam BvS ini.
Pendek kata kebrilianan Snyder yang begitu mengakar kuat di BvS, seakan ditumpulkan di sini. Ya, apa boleh buat, itulah kesimpulan yang mantap ditarik. Meski tidak sampai menjadikan film ini bisa dicap jelek sekali, sangat disayangkan, terbukti walaupun sebelumnya menuai hujan kritik dan dicap bukan pilihan aman sebagai juru nahkoda utama parade superhero DCEU, gaya penyutradaraan Snyder bagaimanapun sudah terpatri kuat sebagai jiwa franchise DCEU, yang malah saat minus kehadirannya memicu kehampaan tersendiri. Apalagi, saat kemudian kinerjanya diteruskan oleh insan yang berseberangan dengan gaya penyutradaannya .
Verdict: 3.5
Story: 3/ 5
Acting: 4 /5
Visual: 4/ 5
Directing: 3 /5
Memorable Scene
Tanpa bermaksud memberikan spoiler, adegan yang berkesan di sini adalah saat Superman sempat berkonfrontasi dengan seluruh anggota Justice League. Di sini diperlihatkan betapa fatalnya sang manusia baja jika ia sampai lepas kendali.