Bryan Stevenson (Michael B. Jordan) adalah pengacara muda berkulit hitam lulusan Harvard Law of School. Ia mendirikan ‘Equal Justice Initiative’ dengan seorang aktivis sosial, Eva Ansley (Brie Larson), untuk memberikan bantuan hukum kepada para napi tak bersalah yang mendapat vonis hukuman mati.
Salah satunya adalah Walter McMillian (Jamie Foxx), penebang kayu berkulit hitam yang dijatuhi hukuman mati setelah dituduh membunuh gadis berkulit putih, hanya berdasarkan kesaksian palsu seorang kriminal. Bryan pun berusaha membantu Walter agar bisa bebas. Itulah premis dari Just Mercy.
Film ini merupakan adaptasi dari memoar Bryan Stevenson yaitu “Just Mercy: A Story of Justice and Redemption,” diangkat dari kisah nyata dan isinya menyoroti impelementasi hukum Amerika yang rasis.
Di Alabama, kalangan kulit hitam awalnya menolak Bryan, sedangkan kaum kulit putih bukan hanya menolaknya melainkan juga menghina dan mengintimidasi. Hal ini bisa dimengerti karena di kota ini, pada tahun 1955, terjadi sebuah insiden di mana perempuan berkulit hitam Rosa Parks, menolak memberikan tempat duduknya kepada penumpang kulit putih. Keributan di dalam bus berlanjut dalam bentuk aksi mogok supir bus – tercatat dalam sejarah sebagai Montgomery Bus Boycott – dan protes terhadap rasisme yang meluas ke lingkup nasional.
Di beberapa adegan yang sangat mengaduk emosi, Michael tampil terlalu elegan dan terkontrol. Bisa jadi karakter Bryan di dunia nyata memang seperti itu karena sebelum syuting, Michael mempelajari cara bicara dan bahasa tubuh Bryan. Dan usaha Michael membuahkan hasil, di mana sosok asli yang ia perankan memberikan respon positif. “Michael berhasil menunjukkan betapa tak nyamannya saya saat digeledah polisi,” puji Bryan Stevenson. “Ia juga tertekan saat syuting tentang pengadilan terakhir…ia sangat menghayati perannya, dan itu membuat saya melakukan kilas balik,” lanjutnya.
Akting cemerlang lainnya ditunjukkan oleh Rob Morgan. Aktor dengan tubuh setinggi 183 cm ini memerankan Herbert Richardson, napi yang mengalami trauma perang. Kegelisahannya saat menunggu giliran hukuman mati, dan rasa takutnya ketika duduk di kursi listrik, patut diberi acungan jempol.
Walau masuk dalam kategori legal movies, adegan di ruang pengadilan jarang dimunculkan. Tapi dalam kemunculannya yang jarang itu, detil adegannya terekam dengan baik. Misalnya, saksi palsu yang merasa takut mengakui kebohongannya karena terus-menerus ditatap seorang polisi. Bryan lalu bergeser, berdiri di tempat yang menghalangi pandangan polisi itu, sehingga saksi merasa bebas bicara. Jammie Foxx, pemeran Walter yang meraih Oscar sebagai aktor terbaik pada 2005, bahkan kerap berkomunikasi hanya lewat tatapan mata.
Just Mercy merekam ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan rasisme yang begitu mendarah daging dalam kehidupan warga. Alabama (di kala itu) memang sarat dengan prasangka, dan bayi berkulit hitam lahir dengan stigma “You’re guilty from the day you’re born.” Banyak adegan emosional karena film ini menyampaikan trauma yang ditimbulkan oleh rasisme, dan hancurnya hidup karena keadilan yang tidak hadir. “Di Amerika, lebih baik orang menjadi kaya tapi bersalah daripada miskin tapi tidak bersalah,” tutur Bryan.
Walau disebut legal drama, Just Mercy bergerak bukan hanya di tataran hukum, melainkan juga masuk ke wilayah personal korban. Ada istri yang kendati dikhianati tapi tak rela suaminya jadi korban ketidakadilan; pengacara dari universitas nomor satu dunia yang nyaris disodomi polisi; hingga napi yang dihukum mati bukan karena ia berbuat salah, tapi karena ia lahir dalam warna kulit yang tidak disukai penguasa.
Bryan, di akhir film, merangkum itu semua dengan baik. “Lawan kata kemiskinan bukanlah kekayaan,” tuturnya. “Lawan kata kemiskinan adalah keadilan.” [Meicky Shoreamanis Panggabean]