Film How I Became a Superhero adalah film thriller adiwira produksi Prancis yang mulai Juli ini hadir di kanal Netflix. Berdurasi di kisaran satu jam 41 menit, film yang disutradarai oleh Douglas Attal ini diadaptasi dari novel berjudul sama buah karya Gérald Bronner, dengan jajaran pemain Pio Marmaï, Leïla Bekhti, Vimala Pons, dan Swann Arlaud.
Film ini menawarkan premis seandainya manusia biasa dan para manusia berkekuatan super hidup berdampingan, menyebabkan pihak kepolisian tidah hanya disibukkan dengan permasalahan kriminal biasa namun juga tindak kriminal yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuatan super. Premis yang mungkin akan mengingatkan pada salah satu film aksi di Netflix yang dibintangi Jamie Foxx, Project Power.
Di Paris, komunitas baru adiwira mulai tumbuh. Semua orang menyaksikan aksi mereka di televisi dan ingin menjadi seperti mereka. Hal ini menyebabkan seorang jenius bernama Naja (Swann Arlaud) meramu obat-obatan psikotropika baru yang bisa menjadikan mereka punya kekuatan super. Sekarang semua bisa menjadi manusia istimewa seperti yang mereka idam-idamkan.
Akibatnya, angka kematian dan kerusakan kota yang ditimbulkan juga semakin meningkat, yang membuat kepolisian Paris semakin kerepotan dalam menanganinya.Untuk menekan angka itu, seorang polisi bernama Gary Moreau (Marmaï)dengan Letnan Cécile Schaltzmann (Pons) diutus untuk menyelesaikan kasus itu, yang mana dalam prosesnya mereka berhadapan dengan temuan yang tidak terduga, terutama rahasia yang berkaitan dengan masa lalu Gary sendiri.
Sebelum How I Became a Superhero, sudah banyak film bertema adiwira yang lebih dulu rilis, yang membuat timbul pertanyaan, apa sekiranya yang bisa ditawarkan dari film ini. Selain Project Power, sajian How I Became a Superhero bisa juga dikatakan merupakan paduan antara serial The Boys dan Jupiter’s Legacy.
Dalam The Boys, dipaparkan secara gamblang sisi negatif dari para adiwira yang sejatinya adalah penyelamat dan juga tentang ilmuwan yang menginjeksikan serum khusus untuk memberi manusia biasa kekuatan super. Di film ini dua hal serupa itu bisa didapati, dengan keberadaan Naja dan pasukannya yang menjadi biang kerok berubahnya anak-anak muda menjadi manusia super tanpa tujuan menyelamatkan dunia.
Sementara elemen yang juga sebelumnya dapat ditemukan di Jupiter’s Legacy adalah saat para adiwira tua menginginkan para anak muda berkekuatan super untuk lebih bertanggungjawab dalam menggunakan kemampuan istimewa yang baru mereka miliki. Yang juga menjadi salah satu konflik menarik yang diangkat di film ini.
Performa dua pemain kunci yang menjadi tokoh utama film ini, Pio Marmaï dan Vimala Pons mampu tampil apik menghidupkan karakter yang mereka mainkan. Sementara, jajaran pemain pendukung lainnya juga lumayan mampu mengimbangi penampilan mereka. Performa para pemain inilah yang notabene menjadi faktor kunci sajian kisah film ini menjadi sangat hidup.
Sudah tentu, jika dibandingkan dengan film-film bergenre sejenis terutama produksi Hollywood, film ini sedikit kalah kelas. Namun, tetap saja, bagi yang menyukai film-film dengan konten adiwira (seperti halnya penulis pribadi-red), film drama aksi thriller besutan Douglas Attal ini sayang untuk dilewatkan.
Walaupun sedikit mengingatkan pada The Boys, dari segi muatan kontennya bisa dikatakan berbeda kontras. Di sini, tidak ada adegan telanjang, adegan kekerasan berlebihan, maupun umpatan-umpatan kasar. Secara overall, How I Became a Superhero bukanlah film yang sempurna. Namun, meski demikian, film ini tetap termasuk film yang berhasil menawarkan hiburan yang solid.
How I Became a Superhero bisa disaksikan secara streaming di Netflix