Pandemi Covid-19 telah menyebabkan gangguan terbesar abad ini untuk industri hiburan. Film-film yang siap rilis harus ditunda penayangannya selama berbulan-bulan ataupun terpaksa dirilis secara digital, sementara yang masih dalam tahap produksi nasibnya terbengkalai di tengah jalan menanti saat roda produksinya bisa berjalan kembali dengan aman. Di lain pihak, jaringan bioskop harus menghadapi problem finansial besar karena tidak bisa beroperasi.
Covid-19 juga menyebabkan umat manusia dianjurkan seminimal mungkin melakukan aktivitasnya di luar rumah ataupun bersosialisasi langsung beramai-ramai. Sebagai gantinya, kita mengambil alternatif tatap muka jalur virtual, salah satunya melalui aplikasi Zoom. Dan, rasanya pembaca artikel inipun tidak asing dengan aplikasi ini, terlepas sebagai pemakai rutin, terkadang menggunakan, ataupun hanya sekadar mendengar perihalnya. Kita tahu bagaimana bentuknya dan apa yang bisa dilakukannya. Seiring terus berjalannya krisis, materi hiburan yang dirilis di masa ini mulai merefleksi situasi yang terjadi. Dan, itulah yang terpampang jelas dalam Host.
Host merupakan hasil terbaru dari rangkaian genre film berbasis teknologi yang efeknya akan paling terasa jika disaksikan dari perangkat yang menjadi “medium” yang dikedepankannya. Sebelumnya, telah hadir, film-film semacam Open Windows, Searching, Unfriended, maupun The Den, yang kesemuanya menyajikan presentasi keterbatasan dalam formatnya –yang dibesut seluruhnya lewat sebuah aplikasi. Host merupakan film yang ditulis, difilmkan, dan seluruh tahapannya diselesaikan di masa pandemi ini. Film ini seperti telah disinggung di atas adalah sebuah found footage yang dihasilkan dari aktivitas Zoom.
Premis dasar Host dibangun dari aspek yang sangat familier yang mudah dijumpai dalam film-film berjenis found footage (sehingga bisa dikatakan film berbasis teknologi ini merupakan turunannya –red). Dikisahkan, enam orang sahabat: Haley (Haley Bishop), Radina (Radina Drandova), Teddy (Edward Linard), Jemma (Jemma Moore), Caroline (Caroline Ward), dan Emma (Emma Louise Webb) sepakat untuk melakukan ritual pemanggilan arwah secara virtual dalam salah satu aktivitas interaksi Zoom mereka.
Bermula dengan obrolan biasa, minum, dan membahas situasi dunia terkini, Haley kemudian mengundang tamu istimewa – seorang medium arwah kawakan bernama Seylan (Seylan Baxter) yang akan menjadi pemandu mereka. Sudah diwanti-wanti untuk tidak menganggap enteng ritual yang dijalani, sayangnya, keisengan salah satu dari enam sahabat ini membuat keberlangsungan aktivitas ini menjadi sangat aneh dan menyeramkan, yang tidak hanya membuat para anak muda ini berada di situasi yang sama sekali tidak terduga namun juga membuat mereka menyesal melakukannya.
Sebagai film horor, Host tampil tak ubahnya gabungan film found footage sukses. Film yang aslinya ditayangkan di platform Shudder ini ibarat menggabungkan elemen-elemen paling menakutkan dari Paranormal Activity, Blair Witch Project, maupun REC, dan memberikan beberapa jump scare yang lumayan efektif. Dari suara berisik tiba-tiba yang tak terjelaskan, kilasan sosok hantu di kegelapan, perjalanan yang keliru ke loteng, dan orang-orang yang ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat, semuanya ada di sini.
Didukung dengan beberapa efek visual yang mengejutkan, Host memadukan sejumlah atmosfer teror dengan jump scare. Premisnya meski terbilang sederhana, namun terelevasi dengan format Zoom, membuat beberapa aspeknya menarik – seperti eksploitasi fitur latar di Zoom guna menambah greget salah satu adegan paling seram di film ini.
Tidak seperti film dengan tipe berbasis teknologi lainnya, Host disajikan seluruhnya di Zoom, jadi tidak ada sama sekali sesi pencarian di situs internet dalam situasi panik mengenai situasi yang tengah terjadi. Hanya enam atau tujuh orang melakukan percakapan dan kemudian diteror oleh roh jahat. Bahkan, sesi end credits-nya pun disajikan lewat platform, yang membuatnya makin unik. Durasi film juga memainkan peranan penting. Rob Savage cukup pintar untuk mengetahui kapan sebaiknya durasi yang tepat untuk filmnya ini, dengan hanya sepanjang 56 menit saja, untuk memastikan ketegangannya tidak sampai menurun dan tidak juga melelahkan.
Adapun, yang membuat Host efektif adalah dikarenakan apa yang disajikannya menohok langsung ke aktivitas yang sudah dilakukan jutaan orang di masa pandemi ini. Dengan pintar, Rob Savage beserta timnya mengkonfrontasi audiensnya tentang bagaimana perasaan terisolasi bagi yang harus tinggal sendirian, maupun bagi mereka yang malah ingin merasakan kesendirian. Lalu, ada pula humor signifikan yang sangat relevan pula, yakni saat sang medium harus terganggu karena pesanannya datang. Belum lagi bagaimana Savage memanfaatkan fungsi Zoom dalam cara yang pintar, termasuk itungan mundur berakhirnya sesi meeting gratis 40 menit, dan penggunaan latar belakang virtual yang inventif.
Dengan segala aspek yang dimilikinya ini, tidak salah rasanya jika kami memberi apresiasi yang sangat positif terhadap film ini. Menghibur, menakutkan dan secara mengejutkan juga menjadi film horor apik yang memanfaatkan situasi aktual sebagai kelebihannya, Host merupakan salah satu film horor inovatif terbaik yang hadir sepanjang tahun 2020 ini.