Film Humba Dreams telah tayang di Netflix tanggal 9 Juli 2020, dapat disaksikan hingga Asia Tenggara, hal ini sesuai dengan misi Netflix yang ingin agar serial TV, dokumenter, dan film panjang dalam berbagai genre dan bahasa dapat muncul pada platformnya.
Baca: Review Humba Dreams, Peristiwa Yang Mendewasakan Seorang Lelaki
Cinemags diwakili Nuty Laraswaty, kali ini berkesempatan untuk dapat mengikuti virtual Netflix Humba Dreams Live Q&A Sesssion, dengan Riri Riza dan Mira Lesmana. Berikut adalah rangkumannya.
Pengantar
Mira Lesmana : Sebelum tayang di Netflix, film ini telah diputar terbatas pada bioskop kecil (non komersial) serta komunitas film beberapa kota. Mira Lesmana menyampaikan bahwa film ini memang lebih enak jika ditonton sambil berdiskusi dengan yang menontonnya, karena film ini bersifat spesifik dan tadinya memang sudah direncanakan untuk tayang secara terbatas di bioskop XXI, namun terkendala karena adanya pandemi jadi saatdihubungi oleh Netflix, maka sangat senang sekali dapat ditayangkan di platform Netflix bahkan tayang hingga Asia Tenggara dimana pencapaian audience jauh lebih luas di masa pandemi
Riri Riza : Film ini film istimewa karena sesuai misi Miles yang mengeksplore tempat-tempat yang mungkin tidak mendapat tempat di film-film nasional kita. dan karena itu saat ada kesempatan untuk menyebarkan ide-ide ke wilayah lebih luas, seluruh Indonesia bahkan Asia Tenggara. Saya sebagai penulis dan sutradara sangat senang dan bangga.
Pesan utama apakah yang ingin disampaikan melalui film Humba Dreams? Begitu banyak isyu yang terangkat dalam film ini.
Mira Lesmana: Saat mengenal Sumba (NTT) memang isyunya sangat kompleks, satu dan lainnya kadang saling berkaitan. Buat kami sebenarnya sudah cukup panjang kami mencoba mengenali Indonesia timur ini lebih jauh ( hampir semua bagian di timur ini kita jelajahi dan pelajari) . mungkin yang belum tinggal pulau Sabu. Sumba adalah salah satu yang menarik. Pada saat kami mengembangkan cerita, kita ingin membawanya dari sudut panfang anak muda yang kemudian mengantar dan mengenali isyu-isyu ini, karena Martin ini adalah anak Sumba yang kemudian sudah merasa menjadi anak Jakarta . Jadi Martin dapatmembawa kembali kita ke kampung halamannya dan bersama dia kembali melihat kompleksitas dari tempat asalnya. Memang benar, ada awareness yang hendak disampaikan, masih banyak isyu yang bisa digali
Riri Riza : Saya pikir semua saling terkait, saat proses penulisannya juga demikian. Saat kita hendak bicara soal tradisi Marapu, kita tidak bisa juga melepaskan kedudukan perempuan dalam strukstur kehidupan orang Sumba. Saat kita bicara soal perempuan, kita tidak bisa melepaskan dari isyu buruh migran di Sumba.
Saya pikir memang film ini merupakan sebuah film yang dari awal intensitasnya ingin menjadi film realis, ketika kita bicara soal realism itu sendiri kemudian harus membuka diri pada isyu-isyu yang riil dan muncul dalam masyarakat. Tentu saja sudut pandang menjadi pendatang sedapat mungkin kita hindari, yang penting ketika saya memilih tokoh seorang sebagai inspiring film maker, jalannya akan membuka menjadi lebih luas. Banyak hal yang manjadi godaan sebagai penulis dan pembuat film, bahwa This is interesting and Important. Sometimes it may work, it may not. itu mungkin tantangannya kadang bisa jalan, bisa menggelinding dengan enak, bisa tetap dinikmati. Sometimes You’re Lucky, Sometimes You’re no so lucky
Apakah ada alasan khusus dibalik keputusan pemutaran film Humba Dreams melalui Netflix?
Mira Lesmana : Saat kami memutuskan memutarnya eksklusif di platform digital netflix dan bukan di bioskop komersial, disebabkan karena jika kita membuat film semacam Humba Dreams ini memang ada pilihan, antara kita tetap memutarnya di bioskop komersial yang kita sebenarnya tahu persis bisa menggapai sebarapa banyak kah penonton untuk film ini.
Film ini serupa dengan film-film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak , Istirahatlah Kata-Kata , The Science of Fictions atau Sekala Niskala. Film-film ini sebenarnya memang bukanlah sebuah film yang bisa dinikmati oleh “mass audience ” , film – film semacam ini kami yakini sekali menjadi unik saat memasuki digital platform dan menjadi film yang dicari orang karena tidak ada di bioskop komersial, dia ada di ruangnya sendiri dan menjadi pilihan. Sangat sensitif audience-nya dan kami sudah memutuskan untuk film Humba Dream, Netflix adalah platform terbaik untuk mencapai audience-nya.
Kami masih dapat melakukan pemutaran terbatas bagi komunitas-komunitas khusus, justru ini yang menarik bagi kami, memutarnya dan kemudian ada Q & A serta berdialog dengan para penonton film.
Apakah ada alasan khusus memilih J.S. Khairen sebagai pemeran utama?
Riri Riza : Sebenarnya proses ini merupakan proses yang standar. Kami punya beberapa kandidat pada saat menulis, hingga pada ke tahap pra produksi, dibuat list untuk pemerannya. Khairen muncul namanya karena saya waktu itu pernah menjadui juri pada sebuah festival film pendek, dan dia membuat film pendek serta dia (kalau tidak salah) juga turut bermain. Kemudian saya pernah berinteraksi dengan dirinya berkaitan dengan sebuah tulisan, selebihnya casting.
Mencari aktor itu intinya bagi saya percaya bahwa seseorang harus memiliki perasaan dan sesibility, inilah yang saya temukan pada diri J.S.Khairen.
Dari manakah ide pembuatan film Humba Dreams? Butuh waktu berapa lama untuk mewujudkannya? Mengapa baru diwujudkan sekarang?
Mira Lesmana : idenya sebenarnya sudah lama, walaupun belum jadi banget menjadi sebuah cerita. Waktu itu sebenarnya diawali dari ketika kita hunting pertama kali untuk film Pendekar Tongkat Emas , saat itu bersama Ifa Isfansyah berkeliling dari Sumba Barat ke Sumba Timur mencari kemungkinan lokasi dan itu saat pertama kali berkenalan dengan Sumba dan merasa kaget dan takjub saat melihat landskap yang luar biasa dan berbeda antara Sumba Barat dengan Sumba Timur.
Saat kami sampai di Sumba Timur, Riri dan Ifa sempat sudah memikirkan film lain saat melihat lokasinya. Sangat inspiratif sekali, tapi justru yang menjadi menarik adalah saat kami mulai syuting dan tinggal di Waingapu, kami berdua suka berjalan kaki dari penginapan menuju tujuan, disinilah Riri pertama kali melihat tempat percetakan film (Fuji Foto) itu. Riri merasa tertarik melihatnya dan itu menjadi titik awal dari ide film ini.
Ide ini kami simpan , kemudian saat kami rehat sejenak dari banyaknya tuntutan pembuatan film, promosi film, dari para investor dan lain-lain (Ada Apa Dengan Cinta 2, Athirah) kami berdiskusi (sekitar tahun 2017), kemudian Riri mengutarakan keinginannya untuk kembali ke toko film itu. namun saat itu baru saja ada film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Namun Riri menyampaikan bahwa ini berbeda ini mau menceritakan tentang kota Waingapu, jauh berbeda dan Sumba yang pernah kita kenalkan itu belum sepenuhnya seperti Sumba yang ingin diceritakan. Maka akhirnya saya menyetujui dan setelah pitch cerita, maka langsung jalan.