Layla Majnun adalah sebuah film karya sutradara Monty Tiwa , tayang di Netflix tanggal 11 Februari 2021.
Dalam interview khusus dengan media. Cinemags diwakili oleh Nuty Laraswaty berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan sutradara Monty Tiwa, para pemain Acha Septriasa, Reza Rahadian dan Baim Wong telah hadir secara virtual untuk memberikan gambaran lebih lanjut mengenai film ini.
Baca juga : 5 Alasan Layla Majnun Menjadi Tayangan Valentine Yang Tak Boleh Dilewatkan
Monty Tiwa menjelaskan terlebih dahulu serta mengkoreksi beberapa pemahaman yang selama ini keliru di masyarakat terkait legenda Layla Majnun, disambung penjelasan detil dari para pemeran utama mengenai beberapa hal yang menjadi ciri khas dan juga nafas film ini.
Simak rangkuman interview khusus ini, berikut ini.
Dikutip dari penjelasan Monty Tiwa bahwa film ini sebenarnya merupakan kerjasama budaya antara Indonesia dengan Azerbaijan. Saat itu duta besar Indonesia untuk Azerbaijan, Husnan Bey Fananie menginginkan adanya suatu kerjasama budaya yang dapat mendekatkan hubungan antara masyarakat kedua negara. Saat mengetahui bahwa penyair Nizami Ganjavi (sastrawan muslim Persia di abad kedua belas) yang menciptakan rangkaian puisi mengenai Layla dan Kais (disebut juga Majnun (gila dalam bahasa Indonesia)) adalah warga negara Azebaijan maka akhirnya disepakati akan dibuat film ini.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa rangkaian puisi karya Nizami Ganjani ini diadaptasi oleh sastrawan di berbagai belahan dunia menjadi beragam bentuk, ada yang sebagai film, ada pula yang sebagai novel, dan dalam bentuk-bentuk lainnya.
Sebuah karya dunia ini dalam sejarahnya telah menjadi inspirasi budayawan-budayawan di Indonesia antara lain Marah Rusli dengan karyanya Siti Nurbaya, Buya Hamka dengan karyanya Tenggelamnya Kapal van Der Wijck.
Alur cerita dalam film ini sendiri merupakan adaptasi bebas, namun tidak boleh melanggar spirit dari cerita asli yang dikarang oleh Nizami Ganjavi
Kisah cinta dari hasil karya Nizami Ganjavi ini sendiri mengandung banyak tafsir di seluruh dunia, namun jika mengacu dari isi konten puisi-puisi tersebut, banyak ahli yang mengungkapkan bahwa ini merupakan cinta yang mengandung banyak unsur sufistik.
Mengandung unsur cinta manusia terhadap Tuhan nya lalu manusia ke manusia, namun tentunya semua itu tak terlepas dari apa yang diyakini oleh Nizami Ganjavi yaitu manusia terhadap Tuhan nya dan sebaliknya. “Tidak mungkin kita dapat mencintai satu sama lain, jika kita tidak mencintai Sang Pencipta manusia yaitu Tuhan“.
Dalam film ini, Monty Tiwa mewakili menyampaikan bahwa semua menginginkan agar cerita ini dapat diterima oleh beragam kalangan penonton, sehingga tidak berani juga untuk terlalu menggali terlalu dalam sisi-sisi unsur sufistik tersebut. Alur cerita dalam film merupakan kisah cinta yang sederhana, bisa diterima dan dimengerti oleh penonton, tanpa menyalahi kaidah-kaidah original dari Nizami Ganjavi
Reza Rahadian sendiri tertarik untuk bermain dalam film ini karena Layla Majnun merupakan sebuah karya klasik dan ia merasakan lagi sebuah tantangan untuk berakting sebagai Samir seorang berkewarganegaraan Azerbaijan, dan karakter ini tentunya baru kali ini ia perankan. Ia harus menggunakan bahasa lokal dan juga bahasa Indonesia dengan logat Azerbaijan.
Baik Reza Rahadian maupun Acha Septriasa sepakat menyampaikan rasa senangnya dapat kembali beradu akting bersama dalam film klasik ini, terlebih lagi yang menyutradarai adalah Monty Tiwa. Acha Septriasa sendiri merasa bahwa judul film ini sendiri sudah “grand” , serta proses syutingnya juga akan dilakukan di negara asal karya asli ini diciptakan sehingga ia merasa tertantang dan penasaran untuk terlibat dalam pembuatan versi Indonesia nya.
Reza Rahadian melakukan pendalaman karakter dengan berbincang-bincang langsung dengan orang Azerbajian yang kebetulan berada di Indonesia, kemudian saat syuting yang dilakukan di kota Baku ,Azerbajian juga dapat berinteraksi langsung mendengarkan percakapan sehari-hari dengan bahasa Ibu mereka , serta mendengarkan secara langsung cara mereka melafalkan Bahasa Indonesia dengan dialek khas mereka. Karakter Samir pun ia perankan secara manusiawi, lengkap dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Proses syuting dilakukan dari tanggal 1 November 2019 sampai dengan 12 Desember 2019 dengan menggunakan pemeran dari Indonesia, walaupun ada beberapa karakter yang mengharuskan menggunakan aktor Azerbaijan yang tinggal di Baku . Proses komunikasi juga berjalan lancar dikarenakan banyak pelajar di universitas setempat yang belajar bahasa dan budaya Indonesia
Baik Reza Rahadian maupun Acha Septriasa menyampaikan bahwa dengan banyaknya adegan pembacaan syair puisi yang menggunakan bahasa baku , jika disampaikan dengan intonasi dan bahasa yang benar akan dapat menyampaikan makna yang dimaksud kepada penonton masa kini , dan hal ini dirasakan secara pribadi sebagai tantangan bagi mereka. Wah, tentunya adegan-adegan ini sangat menarik dan dinantikan bagi para penonton dan fans mereka berdua.
Nah, bagi yang ingin menyaksikan film Indonesia yang banyak mendapatkan perhatian dari warga negara Azerbaijan , sebagaimana termuat dalam kolom komentar pada you tube trailer film ini, dapat menontonnya mulai hari ini di Netflix.