“The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.”
- Edmund Burke
Penantian panjang para penggemar DC Comics untuk melihat “DC’s Big 3” (Batman, Superman, Wonder Woman) di layar lebar telah berakhir dengan dirilisnya film “Batman v. Superman: Dawn of Justice”. Namun harus diakui, bahwa peristiwa besar ini bukan tanpa kontroversi: dalam beberapa hal, terlihat bahwa film ini terkesan sebuah upaya yang agak terburu-buru dari DC-Warner Bros untuk mengejar ketertinggalan atas Marvel-Disney yang telah lebih dahulu mengobrak-abrik box office dunia lewat Avengers dkk. sejak tahun 2008 lewat film Iron Man. Ini memang ironis, mengingat bahwa dalam sejarah komik DC dan Marvel, sesungguhnya DC lah yang lebih dahulu hadir dengan sebuah konsep shared universe, di mana beberapa tokoh superhero yang ada bergabung membentuk sebuah tim untuk membasmi berbagai supervillain.
Kontroversi lain juga hadir lewat gaya bercerita yang ada: ketika Marvel-Disney memutuskan untuk bertutur dengan gaya penceritaan yang relatif lighthearted dan dapat dinikmati remaja atau bahkan anak-anak, DC-Warner Bros bertutur dengan gaya penceritaan yang bahkan lebih serius dari “The Dark Knight Trilogy” milik Nolan. Lihat saja film “Man of Steel” yang menampilkan kehancuran kota Metropolis sebagai akibat dari pertempuran antara Superman dengan Jendral Zod, yang menjadi salah satu sumber masalah utama dari film “Dawn of Justice”.
Tapi bagaimanapun juga, ada 4 poin yang kuanggap menjadikan film ini berhasil melawan dugaan skeptis para kritikus maupun penonton:
- Jumlah karakter: DC mengumumkan bahwa mereka akan melakukan pendekatan yang berbeda dibandingkan Marvel: di mana Marvel merilis film-film solo superhero sebelum merilis film Avengers, DC memutuskan merilis film team-up terlebih dahulu sebelum merilis film-film solonya. Walaupun Dawn of Justice ditakutkan akan memiliki terlalu banyak karakter, namun ingat kata ‘dawn’ di judulnya: para anggota Justice League selain The Big 3 hanya ditampilkan sebagai cameo, sehingga porsi utamanya tetap pada The Big 3. Ini mengakibatkan ceritanya bisa tetap fokus dan tak terlalu melebar.
- Pilihan aktor: Henry Cavill meneruskan penampilannya yang sudah cukup bagus sebagai Superman, yang sekarang harus menanggung beban berat akibat rasa takut orang-orang terhadapnya.
Ben Affleck berhasil menepis keraguan orang-orang terhadapnya, di mana dia dapat menjadi Bruce Wayne/Batman yang lebih dingin namun tetap heroik serta cerdas, didampingi Jeremy Irons sebagai Alfred J. Pennyworth yang tak kalah dingin namun setia membantu Wayne agar dapat menandingi Superman.
Gal Gadot sebagai Diana Prince/Wonder Woman menjadi femme fatale yang sangat memuaskan. Terlepas dari kostumnya yang seakan meniru “Xena: The Warrior Princess”, namun dia berhasil menjadi primadonna yang dalam filmnya tidak tenggelam oleh dua tokoh utama pria tadi. Sangat worthy untuk membentuk penampilan pertama Wonder Woman di sebuah film live-action.
Salut juga atas Jesse Eisenberg dalam memberikan penampilan yang agak berbeda sebagai Lex Luthor. Walaupun dianggap seperti remaja labil a la Hayden Christensen sebagai “pre-Darth Vader” Anakin Skywalker atau Adam Driver sebagai Kylo Ren, namun ending-nya memberikan petunjuk bahwa Lex mungkin akan menjadi penjahat yang lebih matang dan lebih sosiopatik seperti yang kita biasa kenal.
- Musik: Hans Zimmer, komposer film favorit saya, bekerja sama dengan Junkie XL (yang sebelumnya menggarap musik “Mad Max: Fury Road” dengan sangat baik), berhasil menggarap musik yang berbeda dibandingkan “The Dark Knight Trilogy” dan “Man of Steel” (yang juga digarap Hans Zimmer), dan tak kalah menggugah serta berhasil memacu adrenalin. Apalagi dalam beberapa komposisi terdapat campuran hard rock / heavy metal dan orkestra yang memberikan nuansa tegang yang dapat membuat anda berada di ujung kursi bioskop anda.
- Durasi: Zack Snyder dkk. berhasil memberikan sebuah film yang tidak memaksa untuk menjadi terlalu panjang (2,5 jam memang sudah menjadi norm untuk film-film blockbuster Hollywood), namun bisa memberikan banyak info atau easter eggs yang akan membuat kita penasaran atau membuat teori sendiri mengenai bagaimana kelanjutan dari cerita ini di film-film berikutnya.
Jadi, sebagai simpulan, “Dawn of Justice” memang bukan sebuah film yang sempurna, dengan beberapa kekurangan yang ada dibandingkan film-film Avengers a la Marvel. Namun dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan Marvel, “Dawn of Justice” tetap mampu menjadi sebuah film yang luar biasa dan membuat kita penasaran akan ancaman lain yang lebih besar, yang akan membuat para manusia super bersatu menjadi Justice League.
Final verdict: 9.2/10.0.