Ekspektasi berlebihan menimbulkan kekecewaan. Film ini menyumbang salah satunya.
Bruce Wayne (Ben Affleck) memacu mobilnya dengan lihai, meliak-liuk di sela jalanan Kota Gotham yang terimbas perang. Nun jauh di udara sana Superman (Henry Cavil) dan Jenderal Zod sedang berkelahi dengan amat hebat. Pertarungan ini merupakan bagian dari film Man of Steel.
Perkelahian ini memakan banyak korban. Seorang karyawan Wayne gagal terselamatkan meskipun sempat dia telepon. Kemudian seorang laki-laki kehilangan dua kakinya meskipun juga sempat ditolong. Yang paling heroik, Wayne menyelamatkan seorang gadis kecil dari reruntuhan bangunan. Pertarungan Superman vs Zod menghancurkan Wayne Enterprise, simbol kekayaan keluarganya.
Wayne pantas kesal. Pahlawan sih pahlawan tapi ya mbok jangan menghancurkan properti orang dong! Bikin mati banyak warga Metropolis pula. Nah, gaya kepahlawanan Superman inilah yang membuat Wayne mangkel. Meskipun seharusnya Superman tinggal bilang sama Wayne, “Memangnya gedung sebesar itu nggak lo asuransikan, bro?”
Balik lagi ke film.
Kalau kamu manusia biasa, jangan coba-coba melakukan adegan model yang Wayne lakukan. Menerjang kota yang runtuh tanpa pelindung apapun. Ingat, kamu bukan super hero. Wayne alias Batman boleh. Sebab dia adalah jagoan di film ini. Wayne tentu saja nggak akan cedera, apalagi mati. Film baru saja dimulai, masa tiba-tiba langsung selesai karena sang jagoan mati?
Sebenarnya, adegan pembuka film ini amat menjanjikan.
Tapi kekerenan ini nggak berlanjut pada adegan selama nyaris 150 menit. Sisanya, saya terkantuk-kantuk karena pertarungan yang kelewat lebay dan cerita yang seakan-akan dibuat rumit tapi nggak memberikan sensasi nendang. Terlalu banyak masalah yang ingin dibangun, akhirnya malah jadi bingung sendiri. Sang sutradara mencoba membangun aneka subplot tapi malah runyam. Semua serba nanggung.
Spoiler dikit boleh ya untuk jalan cerita.
Suatu ketika, seorang reporter Lois Lane (Amy Adams) menyelidiki gembong teroris di (aduh lupa), pokoknya di suatu gurunlah di Afrika sana. Di tengah wawancara, ternyata si kameraman ketahuan bawa alat penyadap. Si teroris menuduh dia CIA, lalu ditembaklah si kameramen ini. Mati.
Nah, si reporter perempuan ditawan sebentar sama si gembong teroris. Dia sempat bilang gini, “I am not a lady, I’m a journalist.” Kutipannya sih keren.
Di tengah todongan pisau, datang deh manusia super. Wuuuuuus, terbang begitu aja dari langit. Saya heran, kok bisa ya Superman tahu kekasihnya sedang dalam ancaman di suatu tempat antah berantah. Tapi sudahlah, logika kadang memang tidak diperlukan bila kita menonton film superhero.
Si reporter kinyis-kinyis yang tahu kekasihnya datang tersenyum senang dong. Dengan sedikit kode dia merenggangkan tubuhnya dari si gembong teroris dan jdaaaar! Si gembong teroris terjengkang ke belakang.
Kemudian kita tahu, sehari-hari si pahlawan super ini bernama Clark Kent dan bekerja sebagai wartawan di Daily Planet. Kota tempat tinggal Superman yakni Metropolis dan Batman yaitu Gotham bertetangga. Nah, si Clark Kent ini kesel dengan gaya sok jago Batman dalam menangani kejahatan. Kok ya gitu cara menghukum penjahat? Masa setelah dihajar habis-habisan, para penjahat itu dikasih stempel besi panas berlogo kelelawar? Macam sapi yang mau dikirim ke tempat pejagalan hewan saja. Huh!
Meskipun diawali adegan Man of Steel, film ini justru lebih banyak diambil dari sudut pandang Bruce Wayne. Lihat saja di awal film ketika Wayne jatuh ke sebuah gua lalu dikerubuti kelelawar. Atau ketika orang tua Wayne ditembak seorang penjahat.
Si manusia kelelawar jomblo ini cemas melihat ulah Superman menjadi pahlawan Kota Metropolis. Apalagi propertinya sudah dirusak. Terus, nggak ada permintaan maaf lagi. Bahaya nih buat masa depan kota jika gayanya menyelamatkan dunia dilakukan dengan ugal-ugalan.
Sebenarnya saya sih menduga, Batman cemburu sama Clark Kent. Selain superhero, kan Superman punya pacar. Lengkap! Biasa, kesirikan orang jomblo! Si Wayne, kagak jelas siapa pacarnya. Padahal tajir.
Tapi beneran, ini pokok persoalan ini adalah kekesalan dua pahlawan super. Manusiawi yak? Selain itu, masa ada dua jagoan di satu film? Ya nggak mungkinlah. Mulailah si sutradara membangun asumsi penonton, Superman bisa menjadi ancaman buat Kota Metropolis. Keduanya harus dibuat berhadap-hadapan satu sama lain. Berhadap-hadapan ya, bukan menjadi musuh, sesuai judul dan poster film.
Dan Batman tidak sendiri. Kebetulan seorang senator, June Finch juga terganggu dengan kelakuan Superman. Dari sini, pelan-pelan konstruksi cerita mulai terbangun. Si senator, didekati pengusaha muda, Alexander “Lex” Luthor (Jesse Eisenberg). Dia meminta izin mengimpor batu hijau, material dari Planet Krypton. Kebetulan, Wayne juga mengincar batu yang sama.
Sejak si Lex Luthor muncul, penonton pasti bisa menebak kalau dialah sebenarnya penjahat sesungguhnya film ini. Lex Luthor yang sebenarnya kejam dibuat sok lucu dan terlalu banyak bicara. Melihat gaya humor dan cara Lex ketawa (khususnya potongan rambutnya), saya kok melihat dia berusaha menjadi Joker ya? Usaha si Jesse Eisenberg, yang memerankan Lex, menjadi Joker ala Heath Ledger gagal total.
Tapi, bentar-bentar. Kok rasanya ada yang aneh ya? Lex Luthor kan aslinya botak, terus kenapa tiba-tiba dia menjadi gondrong? Apakah ini konspirasi agensi iklan penumbuh rambut?
Sebenarnya inti film ini adalah ada dua pahlawan yang salah paham. Salah paham ini membuat ini membuat mereka berantem deh satu sama lain. Berantemnya sih seru, dibuat dengan nada gelap tapi durasinya kelamaan sehingga malah menjadi membosankan. Saya jadi capek nontonnya. Kok nggak mati aja sih salah satu?
Belakangan, mereka jadi akur. Tahu kenapa? Karena mereka punya nyokap yang namanya sama! Sodara-sodara, dua orang berseteru jadi akur karena nama ibunya sama? Sinetron macam apa ini? Apakah mereka pahlawan super yang tertukar?
Nah, kira-kira begitu deh inti cerita film Batman v Superman.
Eh bentar, ada satu yang ketinggalan. Gal Gadot alias Wonder Woman (Diana Prince). Nggak klop dong kalau Batman tanpa Wonder Woman. Mereka bertemu dalam sebuah pesta, yang di sana juga Clark Kent. Pesta siapakah itu? Kok ada begitu banyak orang penting di sana?
Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Pesta dibikin agar Gal Gadot bisa masuk ke jalan cerita. Biar dia nongol di film. Padahal, peran si Gal Gadot juga nggak penting-penting amat. Kalau dia dihilangkan, keseluruhan film juga nggak ngaruh-ngaruh banget.
Tetapi kan DC Comic mau bikin film khusus Wonder Woman nanti. Hitung-hitung teaser. Jadi, sekalian jualanlah. Ya sudah, nggak apa-apa.
Secara keseluruhan, film ini amat jauh dari harapan. Saya sudah siap-siap membandingkan karya Zack Snyder ini dengan trilogi Batman-nya Christoper Nolan. Nyatanya, harapan saya ketinggian. Saya justru khawatir, setiap sutradara film Batman bakal selalu dibandingkan dengan Batmannya Nolan. Dan (mungkin) tidak bakal mencapai apa yang dibuat Nolan.
Film ini terselamatkan oleh akting Ben Affleck, yang nggak kalah sadis dengan Christian Bale sebagai Batman. Namun, saya kecewa motor Batman yang super keren dengan ban yang gahar nggak nongol di film ini. Ada sih mobilnya si Bruce Wayne yang super cepat, tapi kesannya kurang sophisticated untuk generasi milenals macam saya.
Akting Henry Cavil sebenarnya juga tak buruk-buruk amat. Sayang, lawan mainnya adalah si Affleck yang matang di banyak film. Jadilah si Cavil kalah pamor, auranya ketutup sama si Affleck.
Untung film ini diselamatkan sama musik Hans Zimmer yang memang selalu keren. Setiap adegan dibumbui dengan musik yang pas. Enaklah. Saya malah lebih menikmati musiknya ketimbang filmnya. Atau karena tata suara di bioskop yang menggunakan perangkat terbaru? Musik dan dentumannya, menggelegar. Enak, lumayan buat menghilangkan kantuk.
Begitu film mendekati babak akhir, dengan mulai matinya sejumlah tokoh, saya menarik nafas lega. Apalagi saat lampu bioskop mulai menyala. Mata saya kerjap-kerjap.
Fiuuuh, film ini selesai juga.