2016 bisa dibilang menjadi tahun yang cukup besar bagi film superhero. Setelah dibuka lewat Deadpool di bulan Februari kemarin, di bulan Maret ini ada salah satu film yang cukup menyita perhatian sejak awal proses konfirmasi produksinya, Batman v Superman: Dawn of Justice (BvS).
Segala pro kontra dan komentar pedas mewarnai perjalanan proyek ini. Tanggapan negatif hingga kritikan untuk jajaran pemain masif seliweran. Well, sebagai orang yang gak paham universe komik karena bukan pembaca setianya, gue adalah salah satu orang yang woles dan masa bodo terhadap film adaptasi komik. Time goes by, foto proses produksi mulai dari set dan kostum di publish satu persatu, hingga teaser trailer perdana akhirnya dirilis. “WOW. It might be great, tho”, was my feedback back then.
Secara pribadi saya gak kasih ekpektasi yang berlebihan pada BvS karena saya adalah satu dari sekian orang yang merasa kecewa dengan Man of Steel (MoS) yang juga disutradarai oleh Zack Snyder. Yet, after some disappointment on MoS, Zack Snyder paid it on BvS and it is beyond awesome! Tone cerita yang saya pikir bakal dark ternyata cukup bisa dinikmati (yang dark justru malah suasananya doank macam sinematografinya). Well, let’s make a list about some good points on BvS.
- Ben Affleck is the best Batman? Quite agree. Ben bisa dibilang nunjukin performa yang cukup berbeda dibanding Christian Bale yang sebelumnya dianggap cukup sukses berperan sebagai sang manusia kelelawar. Saya menyukai Batman versi Ben yang tampil lebih gahar dan main bakbikbuk dibanding versi Bale yang cenderung ‘lunak’.
- Performa Gal Gadot sebagai Wonder Woman meski porsinya terhitung cukup sedikit tapi sangat menyita perhatian. ‘Tampilan’ dalam bentuk manusia ber-alter ego Diana Prince emang biasa aja dan kurang kebagian banyak dialog. Tapi begitu keluar dengan kostum Wonder Woman-nya, I was crazy back then. Gal Gadot is the right choice for Wonder Woman.
- Selain Ben Affleck, pemilihan Jesse Eisenberg sebagai Lex Luthor juga sempat menjadi perbincangan yang cukup panas. Tapi jujur, Jesse juga berhasil menyita perhatian seperti Gal. Sama seperti Ben yang tampil memberikan image baru, Jesse pun sukses menggambarkan sosok penjahat gila cenderung psikopat yang sepak terjang rencananya out of the box. He knows Batman is Bruce Wayne and Superman is Clark Kent. Fakta yang membuat adegan ‘perkenalan’ di pesta Lex bikin ketawa kalau diinget-inget, terutama dialog “I love bringing people together” dan “You should not pick a fight with this person”. Akan tetapi, karakterisasi ini malah menjadi bumerang tersendiri karena saya merasa déjà-vu dengan karakter Joker yang dimainkan oleh mendiang Heath Ledger.
Lalu beberapa komentar dan kritik pribadi pun timbul. Sejatinya, BvS merupakan sekuel dari MoS. Tetapi kenapa justru sosok Superman seakan tenggelam dan tidak mengeluarkan tajinya? Apa ini karena BvS sebenarnya merupakan proyek terselubung sebagai jembatan untuk DCEU? Beberapa hal emang bisa dijadikan ‘bukti’ asumsi tersebut, mulai dari hadirnya pengenalan karakter Wonder Woman itu sendiri hingga kemunculan karakter The Flash, Cyborg, dan Aquaman, meski ketiga tokoh yang disebutkan terakhir hanya mendapat porsi kecil. Contoh lain yang juga sempat membuat saya nyengir kuda adalah dialog di akhir film ketika Bruce berbincang dengan Diana dan mengajaknya untuk mulai ‘mencari yang lain’.
Asumsi pribadi lain saya adalah jika BvS secara tidak langsung sebenarnya merupakan reboot singkat dari Batman. Yap, DCEU memang tidak ada hubungannya dengan trilogi Batman hasil besutan Christopher Nolan sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari opening scene yang justru malah menceritakan kisah Bruce Wayne kecil. Sedari awal penonton seakan digiring untuk melihat cerita keseluruhan dari sudut pandang seorang Bruce Wayne/Batman dan sempilan flashback kejadian MoS malah terlihat menjadi sekedar tempelan semata. Kendati demikian, BvS tetap bersikap adil dengan memberikan sudut pandang Clark Kent/Superman sebagai penyeimbang tensi.
Masalah lain yang bikin saya meh adalah dengan penggarapan cerita yang bagus di awal namun berantakan di akhir. Konflik yang dibangun rapih kemudian diselesaikan dengan cara yang terbilang cheesy. I mean, setelah akhirnya Batman bertemu dan bertarung dengan Superman, mereka bisa langsung baikan dan temenan hanya karena “Hey, we share the same mother’s name. Get over it and let’s be friend” (jujur, ini juga saya baru ngeh dan sempet bikin melongo). Lalu untuk menebus rasa bersalah karena salah paham Batman bermurah hati untuk menemukan dimana Martha Kent disekap. Oh please, Superman can’t find his mom but directly goes for Lois when she’s in danger. Duh, saya nonton film blockbuster atau ftv, sih?
Kemunculan Doomsday di BvS juga bisa dibilang terlalu tergesa-gesa. Di paruh akhir nonton saya sempat mikir gini, “Yaelah Doomsday baru muncul? Bentar lagi juga filmnya kelar nih.” Tapi setidaknya saya lega karena pertarungan sengit akan berlangsung singkat, tidak seperti pertarungan MoS yang malah bikin bosan. Namun saya gak munafik kalau pertarungan ini justru terlihat lebih menarik dengan hadirnya Wonder Woman. She is the scene stealer here! Pendeknya, Doomsday merupakan salah strategi karena kemunculannya malah jadi tidak berbekas padahal dia adalah salah satu musuh yang sangat ikonik.
Tindakan yang diambil Superman juga terbilang klise dan ‘hasilnya’ tidak begitu mengagetkan. Bagi saya, ‘hasil’ tersebut merupakan keputusan yang dibuat sebagai gambaran untuk mengembalikan kepercayaan warga Metropolis kepada sosok alien berjubah merah. Toh pada akhirnya Superman tidak benar-benar ‘seperti itu’. Duh, saya nonton film action atau drama, sih?
Singkatnya sih, penuturan yang udah rapih dibangun pelan-pelan mendadak digeber untuk dikelarin dengan klimaks yang gitu-gitu aja standar film superhero. Yes, I talk about those massive explotion, tense fighting, and so on in the name of CGI.
(ps. Komen tambahan: Saya nonton BvS mengambil format 3D tetapi sayangnya gak terlalu signifikan. Selain itu, saya juga cukup terganggu karena beberapa kali gambar di layar terlihat pecah dan blur. Anyone?)