BATMAN V SUPERMAN : DAWN OF JUSTICE
Sebelum saya memulai review ini, perkenankanlah sejenak untuk sedikit menengok kebelakang untuk melihat makna “superhero”, khususnya dalam kacamata peradaban Barat. Karakter2 superhero yang lahir di awal abad-20 sebenarnya bisa ditarik dari alam pemikiran pasca Abad Pencerahan. Kala itu masyarakat Barat telah menggali kembali warisan2 peradaban lampau seperti dari Yunani Kuno dan Romawi. Dari sekian banyak unsur dan elemen kebudayaan yang mereka temu-terapkan (arsitektur, filsafat, keteknikan, dll), mereka tidak ketinggalan untuk mengagumi sudut pandang Hellenistik dalam mengartikan apa itu “Keperkasaan yang Sempurna”. Sudut pandang inilah yang melahirkan ekspresi maskulinitas seperti patung2 bugil berotot, sosok2 pahlawan mitologi pilih tanding seperti Achilles, Hercules, Perseus, dll , hingga ajang Olimpiade Kuno dengan semangat kompetitif-individualitasnya.
Pahlawan macho berotot seperti Superman dan Batman adalah ekspresi kreatif sekaligus penafsiran modern dari nilai-nilai “Keperkasaan Sempurna” di atas. Pakaian ketat adalah penyesuaian untuk mewakili ketelanjangan patung2 Yunani. Jubah yang mereka pakai adalah adaptasi dari prajurit2 Sparta (polis/negara-kota di Yunani Kuno yang terkenal amat memuja supremasi lelaki). Sempak yang selalu mereka kenakan di luar adalah untuk mengurangi kesan ketelanjangan vulgar bagi para pembaca komik. Khusus untuk Superman, tidak lupa juga dibubuhi dengan tinta adikuasa ala Amerika lewat warna kostumnya.
Kita kembali ke film “BATMAN v SUPERMAN : DAWN OF JUSTICE”. Film garapan sutradara Zack Snyder ini adalah film kedua yang menampilkan Superman sekaligus yang pertama bagi Batman dan Wonder Woman dalam proyek besar “DC Extended Universe” yang kedepannya akan menampilkan hampir semua superhero milik DC Comics. Untuk memulai proyek ini, studio Warner Bros tidak segan2 untuk mengalirkan dana US$ 250 juta bagi “Dawn of Justice”. Film ini kembali diperkuat oleh aktor Henry Cavill sebagai Superman/Clark Kent dan Amy Adams sebagai Lois Lane. Aktor sekaligus sineas Ben Affleck dipercaya untuk menampuk beban sebagai Batman/Bruce Wayne. Selain itu, ada aktris Israel Gal Gadot (Wonder Woman/Diana Prince), Jesse Eissenberg (Lex Luthor), Jeremy Irons (Alfred), Diane Lane (Martha Kent), Laurence Fishburne (Perry White), dan pemeran pendukung lain.
Secara garis besar, “Dawn of Justice” bercerita tentang dua sosok pahlawan liar (vigilante) yang memliki latar psikologis dan motivasi masing2 dalam menjalani hidup. Walau secara biologis mereka yatim-piatu, alur kehidupanlah yang pada akhirnya membentuk mental mereka. Superman sejak orok dibesarkan sebagai Clark Kent oleh pasangan petani pedesaan yang saleh dan sederhana. Sebelum Jenderal Zod dkk datang ke Bumi di film “Man of Steel”, Clark sebenarnya telah hidup damai sebagai manusia normal yang tetap mampu menyembunyikan kekuatan supernya. Namun pada akhirnya semua terungkap. Sosok Superman adalah nyata. Clark, yang pada dasarnya tetap bermental anak dusun nan polos, semakin terbebani dengan status ke-Superman-nya, khususnya setelah peristiwa Metropolis. Ironisnya, Mr. Kent seolah hampir tidak punya kesempatan untuk melakukan pembelaan yang layak.
Disisi lain, ada sosok Bruce Wayne yang selama 40 tahun hidup dalam bayang2 kematian tragis kedua orangtuanya.Tragedi ini akhirnya membentuk Tuan Wayne menjadi sosok yang sinis dan terkadang paranoid. Lewat alter-ego bernama Batman, Bruce selama 20 tahun melampiaskan rasa bencinya pada anasir2 jahat yang berkeliaran di Gotham. Di film ini memang tidak diperlihatkan sepak terjang Batman dimasa lalu. Namun kita bisa melihat gurat kebencian yang amat sangat ketika dia melihat ada kekuatan adikuasa yang muncul di muka Bumi. Insting paranoid Bruce pun berdenging. Baginya, Superman menyimpan potensi marabahaya. Apa jadinya jika kemahakuasaan yang dibalut kefanaan itu disalahgunakan?
Ditengah pertentangan dua sosok tadi, ada seorang Lex Luthor. Lex sendiri adalah seorang bussinesman megalomaniak yang juga terobsesi pada kemahakuasaan. Dibayangi oleh ketidakmampuan untuk mencegah kematian ayahnya, Lex mulai menggugat konsep “Maha Kuasa”. Dia menggugat Tuhan. Saat dunia mengenal Superman, Lex melihat representasi Tuhan. Dan dengan kejeniusannya, dia ingin menguji “Sang Tuhan”.
Bagi saya, Zack Snyder memang sosok yang tepat untuk mengarahkan (atau mungkin menemukan kembali) spirit dan dimensi baru film superhero. Film superhero akhir2 ini terlihat begitu kasual dan “urakan”. Hampir tidak ada ruang tersisa untuk keagungan dan kewibawaan. Padahal seperti pada dua paragraf pertama review ini, kelahiran kanon2 superhero tidak terlepas dari “kerinduan mitologis” terhadap pribadi2 ideal nan perkasa. Melalui “Dawn of Justice”, Zack berhasil menampilkan unsur mistis itu. Pencapaian ini secara teknis dibantu oleh sisi sinematografi dan musik latar.
Larry Fong kembali bekerja sama dengan Zack setelah “Watchmen”. Lewat tangan dinginnya, Larry berhasil mengambil shot2 detail dan seolah penuh perhitungan untuk menangkap secara visual tema besar dari keywords “Dawn of Justice” >>> EPIK, KELAM, BRUTAL, TRAUMATIS, sekaligus TRAGIS. Namun bagi saya, seksi yang mungkin paling membangun mood film selain naskah adalah musik latar. Komposer Hans Zimmer memang sudah klise. Namun tampaknya hanya dialah yang benar2 layak untuk mengaransemen “Dawn of Justice”. Obsesi Tuan Hans akan kemegahan dan kemewahan yang banal benar2 mendapat tempat. Lewat bantuan komposer “kekinian” Junkie XL, pertunjukkan gubahan ala Ben Hur dan Ten Commandement sangat pas untuk dipadukan dengan raungan gitar dan jeritan elektronik. Memang bukan formula yang baru (terakhir sudah dicoba Junkie XL melalui film berisik “Mad Max”), namun mungkin menjadi salah satu pencapaian terbaik dari genre ini.
Dari sisi akting, tidak ada miscasting seperti yang banyak ditakutkan. Ben Affleck sudah membuktikan di mata saya bahwa dia adalah sosok real-life Batman terbaik sepanjang masa (sorry for Mr.Bale & Mr. Keaton). Gal Gadot yang sejak awal penunjukkan menuai cercaan membuktikan bahwa tidak perlu menjadi seorang gorilla untuk seperkasa Wonder Woman. Mencari aktris untuk memerankan Miss Diana memang ngeri2 sedap. Bukan hanya cantik, tapi harus ultra-cantik dan ultra menawan secara fisik. Terbukti kemunculan perdana Wonder Woman di layar adalah salah satu momen yang menuai sorakan terhebat oleh penonton. Untuk pemeran Lex Luthor, penafsiran yang dibawakan oleh Jesse Eisenberg cukup segar dan ekstrim serta lumayan jauh dari versi Lex sebelumnya. Selain mereka bertiga, akting para pemeran pendukung lain juga sudah pas dan proporsional.
Namun kredit khusus saya berikan kepada Superman. Alih2 menjadi semakin terlihat perkasa, Henry Cavill secara alamiah berhasil membawakan sosok Son of Krypton yang semakin galau dengan kodratnya. Disisi Manusia Super, dia banyak diserang secara opini oleh banyak kelompok masyarakat. Disisi kehidupan normal, potensi jurnalistiknya selalu dilecehkan oleh direktur Perry White yang hanya memberinya tugas liputan olahraga.
Ada salah satu scene vital dimana ekspresi Superman yang menggambarkan kekecewaan, keputusasaan, sekaligus ketidakberdayaan yang berhasil menggugah simpati saya. Clark Kent pada akhirnya merasa semakin terkucilkan dan terasingkan. Mungkin hanya lewat dua sosok wanita, Lois Lane dan Martha Kent, Clark masih terhubung secara mental dengan dunia nyata.
Kekuatan utama “Dawn of Justice” pada akhirnya tetap berada pada naskah. Chris Terrio dibantu dengan David Goyer berhasil menampilkan drama epik tentang trauma dan tragedi yang menghantui para sosok sepanjang hidupnya. Upaya penggalian karakter dan motivasi dalam “Dawn of Justice” bagi saya lebih mendalam dari banyak film berbasis superhero lain, bahkan lebih dalam dari trilogi “The Dark Knight”. Saya secara khusus sangat mengapresiasi pendekatan yang tidak disangka-sangka dalam konflik Batman melawan Superman. Bagi sebagian orang, pendekatan dramatis ini mungkin terlalu menye2 dan melankolis untuk ukuran pria2 bertestoteron tinggi. Namun jika penonton mampu menghayati keyword “Tragis” dan “Traumatis” yang ikut menggerakkan roda film ini sejak awal, saya yakin mungkin inilah scene paling mengharukan dalam sejarah film superhero comicbook. Pada hakekatnya, “Batman v Superman” adalah ketika dua anak manusia yang mengalami goncangan mental bertemu.
Dalam review panjang lebar diatas, saya memang sengaja tidak menyinggung soal adegan aksi. Tidak ada yang perlu diragukan ketika Tuan Zack Snyder membesut adegan jedar-jeder baku pukul. Namun saya sendiri terkejut dengan penilaian pribadi terhadap “Dawn of Justice” yang bagi saya sedikit diatas “The Dark Knight”. Ya, saya tidak sedang ngelindur atau mabuk dalam hype sesaat. Christopher Nolan dkk memang seorang realis ketika menggarap film superhero versinya. Namun metode Nolan adalah memindahkan drama thriller dalam kostum hero, sesuatu yang memang menghentak namun perlahan akan menjadi generik. Sebaliknya, Zack dan kawan2 tidak mengambil langkah termudah. Mereka mengambil langkah berisiko untuk mengangkat kembali fantasi dan mitologi khas superhero dicampur dengan realisme yang memungkinkan. Hasilnya, “Batman v Superman: Dawn of Justice” tetap konsisten pada spirit awal “The Age of Consequence”. Selalu ada dampak dari setiap aksi. Selalu ada konsekuensi. Inilah alasan mengapa film ini terlalu kelam dan sangat minim humor. Bayangkan apa jadinya lansekap dan peradaban dunia ini jika ada sosok mahadaya seperti Superman? Masih sempatkah anda cengangas-cengenges?
Terakhir, selain tonal film yang terlalu gelap, ada kelemahan inheren sekaligus dilematis pada film ini; yaitu durasi. Kabar yang berkembang, durasi asli film ini adalah 3 jam lebih. Namun akhirnya versi bioskop “hanya” menyisakan sekitar 2,5 jam. Ini mungkin yang menyebabkan beberapa alur film terlihat meloncat-loncat. Saya pribadi tidak keberatan menyaksikan film sepanjang 4 jam sekalipun, tapi tidak dengan investor dan produser. Dalam titik ini, Zack bagi saya lebih idealis dari Nolan. Singkat kata, jika anda penggemar film dan menganggap bahwa “Watchmen” versi director/ultimate cut yang berdurasi hampir 4 jam adalah salah satu film (superhero) terbaik sepanjang masa, maka kemungkinan besar anda akan menganggap bahwa “BATMAN v SUPERMAN : DAWN OF JUSTICE” adalah salah satu mahakarya fantasi yang terbaik yang pernah ada. Paling tidak lewat versi non-bioskop.
Kutipan terbaik :
“Jangan sampai generasi Wayne selanjutnya tidak punya sisa anggur untuk diminum. Walaupun saya ragu akan lahir generasi Wayne lagi.”
(Alfred Pennyworth)