Selepas aktor veteran Morgan Freeman dengan GPS voicenya mengumumkan judul film yang berhasil menjadi peraih kategori pamungkas yang dibacakan di ajang Academy Awards ke-88, berakhir sudah rangkaian perhelatan ajang penghargaan bagi insan film paling besar skalanya di kancah perfilman dunia ini. Dan, sudah tentu, pro-kontra mengenai kelayakan menang film maupun insan perfilman yang sebelumnya mengisi daftar nominasi yang diperebutkan sedikit banyak mewarnai situasi setiap digelarnya ajang ini.
Isu yang lebih menarik justru menyangkut fakta bahwa dalam ajang kali ini tidak adanya satupun nominator yang merupakan insan perfilman kulit hitam, yang menjadikan ajang Oscar kali ini dicap sebagai Oscar yang begitu “putih”. Akan tetapi, kalau mau ditelaah lebih dalam, sebenarnya situasi ini tidak notabene menjadi murni kesalahan para juri Oscar seperti yang ditudingkan, namun juga dikarenakan situasi di Hollywood sendiri periode ini, di mana melalui kacamata pengamat perfilman sendiri apa mau dikata, sayangnya memang tidak ada film berunsur kulit hitam maupun sekadar insannya yang layak masuk ajang Oscar kali ini, jika diadu dengan para nominator yang ada. Untuk tahun ini tidak ada film-film sekelas 12 Years a Slave ataupun bahkan ‘sekadar’ Selma sekalipun. Yang sempat mencuatkan sedikit harapan paling hanya Will Smith di Concussion, itupun masih kalah layak dengan kandidat lain yang sempat digadang-gadang masuk nominator Oscar namun juga terdepak dari daftar nominator, yakni Johnny Depp di Black Mass.
Mari kita tinggalkan polemik #OscarSoWhite itu, kembali pada hasil akhirnya. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Oscar 2016 dalam kacamata pribadi, lagi-lagi tidak menawarkan kejutan, di mana umumnya tidak hanya di kategori-kategori kurang bergengsi, namun juga kategori-kategori paling prestisius, kali ini film maupun insan-insan peraih anugerah piala berbentuk pria dewasa berlapis emas ini sudah diperkirakan kemenangannya oleh kalangan pengamat perfilman sejak jauh hari. Yang menjadikan momen saat pengukuhan nama mereka, lebih terasa menjadi momen pembuktian belaka dan lebih membuat reaksi yang ada di kepala, antara lain: “Sudah diduga”, “Tuuh, kan benar”, dan pikiran serupa lainnya alih-alih sebuah twist and turn, seperti kemenangan Brie Larson, Leonardo DiCaprio, dan Alejandro G. Iñárritu yang sebelumnya sama-sama mengoleksi Golden Globe 2016 untuk kategori yang kurang lebih sama dengan yang mereka menangkan di sini.
Walaupun demikian, ada beberapa yang layak masuk catatan, yakni meski sudah diperkirakan sebelumnya, kemenangan Leo tak pelak cukup membawa makna tersendiri. Hal ini bukan dikarenakan perihal pantas tidaknya sang aktor meraih Oscar (sangat pantas malahan, jika dibandingkan performa para pesaingnya), akan tetapi momentum di saat sang aktor akhirnya mengakhiri masa penantiannya agak terasa kurang cantik. Pasalnya, Leo mendapatkannya bukan saat ia berkolaborasi dengan sineas Martin Scorsese yang dikenal sebagai ‘partner kerja’nya dalam dua dekade terakhir, namun saat ia berada di bawah arahan Iñárritu yang notabene baru pertama kali bekerja sama dengannya. Coba saja, misal Leo diganjar Oscar di film yang dibesut Scorsese, akan lebih menggigit dan emosional makna momentum tersebut rasanya.
Untungnya, di klimaksnya, ajang Oscar kali ini menghadirkan sedikit kejutan (meski tidak terlalu mengejutkan, sebenarnya), dengan keberhasilan Spotlight dinobatkan sebagai Film Terbaik ajang Oscar kali ini, menggungguli The Revenant yang jauh lebih difavoritkan banyak kalangan. Akan tetapi, sebenarnya kemenangan Spotlight sendiri bukan sesuatu yang mengherankan di kalangan pengamat, di mana film arahan Tom McCarthy ini sudah banyak dijagokan menjadi pemenang Best Picture kali ini.
Sudah menyaksikan sebagian besar dari film-film yang masuk nominasi Oscar 2016 di kategori ini, saya pribadi memang lebih memihak Spotlight yang dibesut dan dikemas dalam skala yang lebih kecil dari The Revenant dari segi bujetnya. Memang di kategori ini juga bercokol The Martian dan Mad Max: Fury Road yang juga memiliki reputasi besar, (singkirkan Bridge of Spies, Brooklyn, The Big Short dan Room, yang kehadirannya hanya sekadar pelengkap), namun jika menyelami selera para juri Oscar, kecil kemungkinan mereka akan menjatuhkan pilihan pada dua film ini, dan terbukti hal itu benar. Memang sebelumnya ada sedikit kekhawatiran The Revenant yang akan dimenangkan, apalagi sebelumnya film ini sudah mengoleksi beberapa kemenangan di kategori–kategori prestisius, yang menjadikan tak pelak berhadap-hadapannya Spotlight dan The Revenant tak ubahnya David vs Goliath.
Saya pribadi lebih memihak pada Spotlight dengan kecenderungan bahwa Spotlight yang digarap dengan bujet jauh lebih kecil namun hasilnya sangat memukau tentu punya nilai lebih dibanding The Revenant yang disokong dengan bujet yang lebih besar (belum lagi saya merasa sajian The Revenant tidak sespektakuler karya Iñárritu lainnya, terutama Birdman, untuk membuat saya simpatik). Dua-duanya memang layak menang, namun jika the The Revenant yang menang dalam hemat pribadi saya adalah pilihan yang aman, sedangkan jika Spotlight yang menang adalah pilihan berani. Untungnya, pihak juri sepertinya berani mengambil resiko dengan memilih Spotlight, yang membuat saya sedikit terpuaskan dengan keseluruhan perhelatan Oscar kali ini.