Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags untuk lomba review film Deadpool dan sama sekali tidak mencerminkan pandangan editorial Cinemags. Anda juga bisa ikut serta dalam lomba review film Deadpool di sini.
Note: spoiler alert!
Jika Anda pikir ini bukan film super hero biasa, Anda keliru. Mengapa? Karena ini bukan film super hero. Film ini merupakan pertemuan pertama saya dengan tokoh Deadpool: saya belum pernah membaca komik Deadpool maupun memainkan video game solo Deadpool. Saya tidak tahu ke manakah 20th Century Fox akan membawa franchise ini ke depannya, namun setelah menilik formulasi film pertama ini, dunia dan permasalahan yang dihadapi oleh Deadpool sepanjang film tidak membuatnya pantas menyandang predikat super hero. Kelakar Deadpool yang menggadang dirinya hanya ‘super’ namun bukan seorang ‘hero’ bukanlah sekedar lelucon, pernyataan tersebut adalah pernyataan literal. Perlu digaris bawahi, saya tidak akan menyentuh penggambaran sifat Deadpool sebagai salah satu alasan mengapa saya menganggap Deadpool bukanlah seorang super hero dalam film ini, karena menurut Bruce Wayne: “it’s what you do that defines you.”
Film ini dilandasi oleh balas dendam pribadi seorang Wade Wilson (nama asli Deadpool). Motif utama yang mendorong dirinya untuk berjuang mencari dan melawan Ajax, sang antagonis, hanyalah agar ia bisa memaksa Ajax untuk mengembalikan penampilan fisiknya (yang kini buruk rupa) kembali seperti semula. Wade Wilson takut bila kekasihnya tidak akan menerima dirinya kembali jika ia tidak ‘setampan’ dahulu. Ya, inilah pergejolakan utama yang dihadapi Wade Wilson sepanjang film. Apakah di saat bersamaan dunia juga sedang terancam? Tidak. Inilah yang membuat Deadpool dalam film ini belum pantas menyandang predikat super hero, karena ‘hero’ adalah sebutan bagi seseorang yang mempunyai misi menyelematkan orang lain tanpa mengharapkan balasan dalam bentuk apapun.
Bila penulis skenario memutuskan untuk membawa Deadpool ke dalam misi menyelamatkan dunia pada film kedua, barulah film tersebut bisa disebut sebagai film super hero. Film pertama ini terasa seperti satu dari beberapa bagian sebuah film origin story (lazimnya film pertama) dari hampir seluruh franchise film super hero. Contohnya, di sekitar 20 menit pembuka, film pertama dari trilogi Iron Man menampilkan perjuangan Tony Stark untuk menyelamatkan diri dari sekapan teroris. Tony Stark dipaksa untuk membangun seperangkat baju baja bersenjata untuk mengalahkan para teroris tersebut. Dari sanalah kita diperkenalkan dengan alter ego Tony Stark yang baru, yakni Iron Man. Plot film pertama Deadpool ini terasa seperti 20 menit awal film Iron Man yang dibuat sebagai film berdurasi penuh: cakupan film ini adalah origin of the origin story of Deadpool. Film pertama Iron Man bisa dikatakan sebagai film super hero karena Tony Stark sudah mengemban tanggung jawab menyelamatkan dunia dari ancaman Obadiah Stane.
Meski cakupan plot film ini sangat sempit, serta dunia di sekitar Deadpool yang ditampilkan juga sangat sempit, saya tetap puas ketika keluar dari pintu teater. Sangat, sangat puas. Apakah film ini sempurna? Tentu tidak. Film ini memiliki beberapa kekurangan, namun menurut saya tidak ada kekurangan yang mengganggu konsentrasi saya saat menyaksikan film ini. Sebelum saya menjabarkan kekurangan-kekurangan tersebut, saya harus menekankan terlebih dahulu bahwa saya tidak menganggap plot sempit film ini sebagai sebuah kekurangan. Justru saya selalu mengagumi film-film dengan plot yang sederhana namun tetap mampu menarik perhatian saya sepanjang film (contoh: The Hateful Eight, The Revenant). Oh, dan satu lagi, bila Anda merasa terganggu oleh ‘ke-vulgar-an’ dan ‘ke-sadis-an’ yang ditampilkan film ini secara visual maupun verbal, jangan jadikan hal tersebut sebagai alasan Anda untuk menganggap film ini sebagai film yang buruk. Bila Anda merasa terganggu, itu adalah akibat dari perbedaan selera dan perbedaan kultural, tidak lebih.
Ketidakpuasan paling besar saya terhadap film ini adalah kurangnya pendalaman interaksi antara Deadpool dengan sidekick-nya, Weasel. Meski mereka dua karakter tersebut digambarkan dengan baik sebagai teman akrab melalui berbagai percakapan mereka di dalam bar, namun rasanya itu semua tidak cukup menggambarkan Weasel sebagai sidekick yang bertanggung jawab sebagai penyedia senjata Deadpool. Bayangan saya sebelum menyaksikan film ini, Deadpool dan Weasel akan melalui banyak momen interaksi seperti Batman dengan Alfred/Lucius Fox atau James Bond dengan Q. Saya membayangkan akan terjadi momen antara mereka di mana digambarkan secara jelas bahwa Weasel mempunyai pengaruh besar dalam setiap aksi Deadpool melalui penggambaran keahliannya mendapatkan suplai persenjataan. Namun bisa jadi kurangnya penggambaran demikian memang disengaja, toh pada credit scene pembuka Weasel diwakili oleh sebutan “the comic relief”.
Ketidakpuasan saya yang berikutnya adalah penggambaran karakter Ajax dan Angel Dust. Kedua antagonis utama film ini terasa tidak senada dengan tone film secara keseluruhan. Hampir seluruh karakter dalam film ini memiliki ciri khas perangai yang kuat, terutama sang protagonis. Masing-masing karakter menawarkan gaya humor yang berbeda yang membuat mereka terasa begitu signifikan (bahkan Dorpinder sang supir taksi mampu memberikan kesan yang kuat di kepala saya). Di sinilah kekurangan Ajax dan Angel Dust, mereka seakan tenggelam dalam warna-warni karakter-karakter lainnya. Mulai dari dialog-dialog yang terlontar dari mulut mereka, penampilan fisik mereka, hingga motif mereka sebagai karakter, semua terasa begitu medioker. Mereka hanya antagonis yang jago berkelahi… hanya ini impresi saya terhadap mereka.
Masih ada beberapa ketidakpuasan saya mengenai film ini, namun hanya dua ketidakpuasan di atas yang saya rasa perlu saya ungkapkan. Di luar dari segala kekurangannya, Deadpool adalah sebuah film yang patut diacungi jempol, terutama dalam pemilihan gaya komedinya. Film ini dipenuhi oleh humor fourth wall breaking nan eksplisit yang mengingatkan saya pada gaya humor Seth MacFarlane (namun tidak seignoran itu tentunya). Humor dalam film ini memang berada pada garis terdepan, namun sisi serius dari film tetap tidak tertutupi. Meski Deadpool digambarkan sebagai karakter yang tidak serius dan menyebalkan, saya tetap mampu ikut terbawa merasakan penderitaan yang dirasakan olehnya.
Sebagai penutup, saya harus mengakui bahwa saya tidak bisa menilai Deadpool seperti saya menilai film-film lain. Film ini sungguh meta, terlalu meta (ini bukan hal yang buruk), sehingga membuat saya tidak bisa melihatnya sebagai film biasa. Satu hal yang saya perlu tekankan sebagai konklusi, film ini adalah film yang sangat monumental bagi perfilman Hollywood. Saya rasa belum pernah ada film yang benar-benar meta yang mampu mendapatkan perhatian sebesar ini sebelumnya. Namun, saya tidak yakin bahwa film ini akan mempengaruhi gaya penyutradaraan film-film mendatang, karena film ini menjadi seperti ini karena pengecualian. Deadpool memang dikenal sebagai fourth wall breaker kocak di dalam buku-buku komiknya, dan para penonton sudah tahu hasilnya bila karakteristik Deadpool tersebut tidak ditranslasikan secara akurat ke dalam film (hampir semua orang kecewa terhadap versi Deadpool di X-Men Origins: Wolverine). Maka, bila bukan untuk Deadpool, tidak akan ada studio yang berani membuat film seperti ini.