Netflix yang muncul di Indonesia beberapa waktu lalu telah mendapat reaksi dari Lembaga Sensor Film (LSF). Para anggota LSF berkumpul pada hari Sabtu (9/12) dan menyaksikan berbagai film yang ada pada layanan Netflix. Dilansir dari Tempo, sang Ketua yaitu Ahmad Yani Basuki menyatakan bahwa beberapa film di layanan Netflix tidaklah layak tayang.
“Ada yang pernah kami tolak sensornya saat akan tayang di bioskop,”
Ahmad Yani juga menambahkan bahwa dalam Undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman disebutkan bahwa tiap film yang akan dipertontonkan pada khalayak harus mengantongi surat tanda sensor dari LSF. Menurut Yani, tak adanya izin yang dikantongi oleh Netflix membuat layanan ini harusnya diblokir oleh pemerintah.
“Tanpa memenuhi ketentuan tersebut, kami akan merekomendasikan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir layanan tersebut. Kami ingatkan, kalau tidak mau mengurus izin resmi ya jangan masuk sini,”
Tentang Lembaga Sensor Film
Lembaga Sensor Film (LSF) adalah lembaga yang berhak untuk memotong atau menghapus bagian dalam sebuah film atau tayangan televisi. Ada beberapa kriteria adegan wajib sensor di film yaitu yang mendorong kekerasan, judi, penyalahgunaan narkotik, adegan yang menonjolkan pornografi, memprovokasi pertentangan suku, agama dan ras; menistakan agama; mendorong khalayak melawan hukum dan merendahkan martabat manusia.
Sensor Film di Internet
Hingga saat ini masih belum ada penjelasan secara detail bagaimana bentuk sensor atau mekanisme dalam menyaring film di Internet oleh Lembaga Sensor Film maupun Kominfo. Netflix sendiri adalah salah satu penyedia layanan streaming yang berbasis penyewaan film melalui media internet. Netflix memiliki lisensi hak cipta hingga lebih 65 ribu judul film yang dapat ditonton melalui perangkat apapun yang memiliki kompatibiltas untuk menyaksikan Netflix. Tak hanya Netflix, kita juga bisa menonton film melalui platform yang hampir serupa yaitu iTunes dan Google Play. Bedanya, Netflix memberikan kepuasan menonton secara unlimited dengan biaya tertentu, sedangkan Google Play dan ITunes hanya menjual dan menyewakan per film. Lalu mengapa Google Play dan iTunes tidak dipermasalahkan? Dan apa sebenarnya landasan hukum Indonesia tentang sensor film di internet?
Dilansir dari laman laman Viva, Komisioner LSF Rommy Fibri mengatakan bahwa ia belum bisa memastikan bentuk aturan yang terkait dalam platform televisi berbayar dan konten film di Internet. Ia juga menambahkan bahwa pengaturan Netflix di Indonesia berada di wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sedangkan LSF bertugas mengatur konten.
“Kalau soal Netflix, bolanya ada di Kominfo. Jika menyangkut operatornya, maka domainnya Kominfo. Jika kontennya, maka LSF. Netflix beroperasi itu kan harus ada izin atau kebijakan dari instansi terkait (Kominfo). Dan konsekuensi logisnya adalah mereka diberitahu bahwa sesuai UU Perfilman, maka film yang akan ditayangkan harus mendapatkan tanda lulus (sensor) dari LSF,”
Lantas bagaimana nasib Netflix dan segala film di dalamnya?
Saya sendiri berpendapat bahwa hukum dan kebijakan di Indonesia masih belum siap menerima Netflix dan platform yang serupa. Ada ketimpangan dalam bentuk “penyaringan” serta batasan media yang dicakup oleh Lembaga Sensor Film dan Kominfo. Bagi saya, sensor yang akan dilakukan LSF terhadap konten film melalui internet akan sangat memakan waktu dan tak akan efektif. Jika dilihat dari bentuknya, Netflix kurang lebih sama seperti YouTube. Perbedaan yang paling menonjol mungkin dari konten dan legalitas film yang ditampilkan, karena mayoritas konten yang ada di YouTube bukanlah film yang dirilis secara resmi. Saya berpendapat bahwa Netflix justru lebih aman dalam menyaring para penontonnya, karena ada batas umur minimum yaitu 18 tahun bagi yang menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayarannya, seperti yang tertulis pada Netflix Terms of use berikut:
Netflix menyajikan berbagai film dan konten lainnya secara legal namun memiliki sistem penggunaan layaknya situs YouTube. Jika mengacu pada poin-poin sensor yang diberikan oleh Lembaga Sensor Film, maka konten dalam YouTube harusnya juga masuk dalam tahap penyaringan karena memiliki banyak film yang bisa dikonsumsi secara luas oleh masyarakat tanpa batasan. Satu-satunya pagar yang dimiliki oleh YouTube adalah age restricted, meskipun itu juga bisa dimanipulasi oleh para penggunanya. Menurut saya, Netflix jauh lebih aman untuk dikonsumsi, karena hanya dapat digunakan oleh orang dewasa di atas 18 tahun yang sudah memiliki akses pada pembayaran melalui kartu kredit. Namun yang paling penting, orang dewasa yang mempunyai akun tersebut dapat membatasi penggunaan bagi anak di bawah umur melalui mode Kids yang dapat menyaring konten dewasa.
Satu hal yang paling memungkinkan untuk memblokir Netflix adalah masalah perizinan tentang pendirian layanan Netflix itu sendiri. Pemerintah tidak bisa memblokir Netflix berdasarkan konten yang disajikan karena belum ada payung hukum yang jelas akan sensor terhadap konten film di Internet.
Jika Netflix tetap diblokir tanpa alasan, itu tandanya Indonesia memang belum siap untuk mendapatkan layanan film berbasis teknologi seperti ini.
Bagaimana pendapat kalian?
Baca juga: Netflix Indonesia – Semua yang Perlu Anda Ketahui