Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags dan tidak mencerminkan pandangan editorial Cinemags. Andapun bisa membuat artikel serupa di sini.
Dalam perjalanan menuju koloni planet baru, seseorang terbangun 90 tahun lebih cepat karena malfungsi pada kapsul tidurnya. Ia pun membangunkan seseorang lain untuk menemaninya. Well, sebuah plot dasar yang menarik untuk membangun sebuah unsur cerita. Namun, rangka tersebut ternyata tidak ditopang dengan penulisan skrip yang semenarik itu.
Passengers sebuah film fiksi ilmiah yang mengangkat kembali perjalanan luar angkasa yang akhir-akhir ini menjadi formula yang baik untuk mendapat uang sekaligus menuai pujian kritik. Tentu, kita masih ingat bagaimana Prometheus (2012) berhasil membawa kembali tema ini ke jajaran film sukses. Gravity (2013) membawa ketegangan lewat pengemasan setiap adegan yang sangat cermat dan luar biasa. Interstellar (2014) menyuguhkan petualangan ruang angkasa yang menawan. Lalu tongkat terakhir dipegang The Martian (2015) yang membuat keterdamparan dalam balutan fiksi ilmiah yang asik.
Film-film tersebut dipuji kritik dan tidak bisa diacuhkan oleh Oscar. Passengers mungkin menjadi harapan kita ketika tongkat itu coba diteruskan lagi. Tangan Morten Tyldum sebagai sutradara bernafas baru di Hollywood tentu diharapkan dapat meneruskan tongkat itu, mengingat kesuksesannya memegang The Imitation Game (2014). Belum lagi jajaran pemainnya yang luar biasa menarik: Chris Pratt dan Jennifer Lawrence.
Trailer yang ditunggu-tunggu pun datang, hasilnya: buruk. Sebuah trailer yang terlalu straightforward dan tidak memberi kesempatan calon penonton mereka untuk penasaran. Bahkan, skoring trailer terdengar “murah”.
Premis menarik cerita tetap membuat penasaran penonton. Tanggal tayang pun tiba. Ternyata, trailer tidak mengkhianati filmnya. Sama: terlalu straightforward dan plotnya tergolong murah mengingat bagaimana talenta yang ada dalam tim produksi.
Cerita dibuka dengan penjelasan rusaknya kapal karena terbentur meteorit, dengan tulisan macam teleprompter seperti yang ada di film Alien. Taktik tersebut mungkin membawa nostalgia, tetapi sayang terkesan murah dan tidak inovatif. Penjelasan-penjelasan tadi sebenarnya bisa dibawa lebih menarik lagi, tetapi entah penggarapannya seperti terburu-buru. Terlihat sinematografi yang murahan, serta tempo pemotongan adegan yang tidak sesuai dengan pergerakan kamera.
Entah, apa sinematografi yang murahan disebabkan oleh efek visual yang seperti ketinggalan zaman. Unsur ini sebenarnya penting untuk film fiksi ilmiah yang bertualang di luar angkasa. Keempat film yang disebut di beberapa paragraf di atas berhasil menampilkan luar angkasa yang menawan.
Passengers? Banyak ketidakrealistisan yang sangat terlihat dengan mata. Bahkan, penggambaran tersebut terlihat sangat fiktif: mencoba menampilkan ruang tiga dimensi yang ternyata hanya terlihat seperti dua dimensi. Efek visual ini terlihat semakin buruk justru ketika film bermaksud menampilkan adegan yang menawan.
Lalu, ke mana bujet 120 juta dollar itu pergi? Terlalu mahal membayar Lawrence dan Pratt-kah? Ya, sepertinya begitu. Bagaimana dengan akting mereka?
Pertanyaan itu sepertinya akan keluar mengingat nama kedua aktor dan aktris ini luar biasa populer. Belum lagi Lawrence yang mendapatkan 4 nominasi Oscar dalam kurun waktu 6 tahun dan memenangi satu di antaranya. Sebenarnya, jika melihat segi akting, mereka tidak buruk-buruk amat.
Chris Pratt bukanlah aktor dengan akting yang menawan, tetapi aktingnya selalu pas dalam beberapa film. Keberhasilan James Gunn mengangkat namanya pada Guardians of the Galaxy rasanya kurang berhasil dibesut oleh Morten Tyldum. Aktingnya kaku, apalagi dalam adegan-adegan emosional.
Sepertinya, memakai Chris Pratt memang sebuah pertaruhan besar. Dia bukanlah aktor yang adaptif seperti bunglon. Aktor sepertinya harus ditempatkan dalam peranan yang tepat untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Untuk Lawrence, well, aktris sekaliber dirinya sebenarnya tidak perlu diragukan lagi. Hanya butuh penulisan skrip yang tepat. John Spaihts ternyata gagal menulis skrip dari idenya yang brilian.
Adanya keterburu-buruan ketika Jim Preston (Chris Pratt) terasing dalam waktu satu tahun. Satu tahun itu benar-benar dalam tempo yang cepat dan tidak terasa seperti setahun. Jika ditilik lagi, sebenarnya banyak adegan yang mubazir jika memang ingin ditampilkan dalam waktu yang singkat. Ada sedikit harapan bahwa waktu penayangan untuk Jim yang terdampar sendirian agar lebih lama.
Hal tersebut memang dapat dimaklumi jika aktris seperti Lawrence ada dalam film ini. Porsi Lawrence harus lebih banyak. Eksploitasi cerita justru menjadi roman murahan yang tidak diharapkan penonton. Kebanyakan penonton mungkin lebih mengharapkan adanya ketegangan pada Jim tentang bagaimana dia sengaja membangunkan Aurora (Lawrence). Daripada roman yang, sekali lagi, terlalu murah dan straightforward, penonton mengharapkan eksplorasi emosi yang dihasilkan atas kejengkelan Aurora ketika mengetahui apa yang Jim lakukan padanya. Tidak perlu jauh-jauh pergi ke luar angkasa hanya untuk mendapatkan roman seperti itu, di bumi banyak.
Cahaya itu justru datang dari tempat yang tidak diduga. Laurence Fishburne sebagai Gus Mancuso setidaknya membuat cerita menjadi lebih make-sense. Fishburne yang dikenal dengan kekakuan dialognya justru terlihat cukup luwes dalam memainkan perannya. Namun, memang sangat disayangkan bahwa naskah dari John Spaihts juga kurang dalam observasi yang mendalam. Penampilan Gus sebagai pembawa harapan terbaikinya pesawat kurang gereget karena kurangnya pengetahuan mengenai beberapa hal teknis dalam pesawat ruang angkasa.
Peranan Charlie Sheen juga cukup memukau sebagai android yang happy. Dalam segi akting sebenarnya film ini cukup baik. Plot cerita serta pemotongan adegannya saja yang memang tidak mendukung. Skoring juga murahan. Tidak ada ketegangan seperti skoring Gravity atau Interstellar atau kesunyian dan kelucuan skoring The Martian. Ruang kreasi Thomas Newman sangat tipis, hanya dengan perkusi dan biola yang alunannya biasa kita dengar dalam film-film lain.
Secara keseluruhan, sebenarnya filmnya buruk, tetapi tidak buruk-buruk amat. Beberapa momen cukup menghibur. Untuk kaum adam, cantiknya Lawrence dalam film ini sangat memuaskan mata. Untuk kaum hawa, mungkin roman yang dihasilkan cukup menarik dan mudah dicerna. Tontonlah, tetapi jangan berharap banyak.