Ini adalah artikel review dari komunitas Cinemags dan tidak mencerminkan pandangan editorial Cinemags. Andapun bisa membuat artikel serupa di sini.
Tahun 1991 di salah satu bioskop di tanah air, saat saya terpana menyaksikan adegan perubahan wujud liquid yang menyatu dan membentuk kembali wujud karakter T-1000 dalam suatu adegan pertempuran dua cyborg di film Terminator 2 : Judgement Day. Saat itu, penggunaan CGI (Computer Generated Imagery) merupakan teknologi baru dalam industri perfilman, seiring dimulainya perubahan teknologi secara masif ke arah digital. Mungkin saya beruntung sebagai generasi yang tumbuh di akhir 80an dan awal 90an, menjadi saksi hidup akan evolusi efek spesial terhadap visual suatu film. Jika kita membicarakan film-film Hollywood, perubahan akan wujud digital terjadi secara signifikan di awal 90an. Jika di era 80an familiar dengan istilah painting matte, stop motion animation atau miniatur, maka mulai era 90an hingga kini kita familiar dengan istilah digital matte, CGI, augmented reality atau istilah lainnya. Menurut berbagai sumber, film Total Recall (1990) adalah salah satu film terakhir yang menggunakan miniatur secara total, dengan bantuan komputer digital yang masih minim dan terbatas penggunaannya. Studio-studio besar di Hollywood pun tak luput dari penggunaan software digital dengan biaya yang tinggi kala itu. Hasilnya adalah Terminator 2 : Judgement Day yang merupakan salah satu pionir dalam implementasi kecanggihan teknologi digital industri perfilman Amerika. Waktu pun terus berlalu, perkembangan teknologi digital terus berlanjut dengan keberhasilan berbagai film khususnya genre science fiction, fantasy, adventure atau action hingga superhero seperti Batman Returns (1992), Jurassic Park (1993) atau The Mask (1994). Bahkan genre animasi pun mengalami revolusi besar-besaran, dengan ‘meninggalkan’ visual yang konservatif menjadi visual 3D akibat kesuksesan film Toy Story (1995) dari studio Pixar yang akhirnya dibeli oleh Disney.
Lebih dari dua dekade berlangsung, era digitalisasi yang kini merambah kepada pengguna individu, semakin memudahkan kalangan di berbagai industri skala menengah dan kecil, tak terkecuali industri kreatif dan hiburan, khususnya film. Maka tak heran, maraknya berbagai studio atau perusahaan film independen dikarenakan salah satunya adalah penggunaan komputer digital. Bahkan, para individu –secara teknis- dapat membuat film sendiri. Kecanggihan kamera video dan perlengkapannya, serta kecanggihan software komputer grafis dan animasi, menjadi senjata utama dalam mengeksplorasi kreativitas dalam sebuah industri hiburan. Lalu, untuk promosi bagaimana? Tenang, media sosial selalu mendukung kampanye dalam upaya untuk mengkomunikasikan hal tersebut. Digitalisasi membuat perubahan visual film secara signifikan, namun dibalik kecanggihannya, selalu ada dampak positif dan negatif yang terjadi. Berikut adalah dampak positifnya : Yang pertama tentu lebih mudah dalam merealisasikan visual secara proper dan estetis, terutama jika ingin adaptasi cerita fantasi, adventure, epik atau saga, dan yang paling sering kita temui adalah superhero. Yang kedua adalah adanya efisiensi biaya dan ketepatan waktu produksi, misalnya pembuatan visual latar belakang (penggunaaan green screen atau blue screen), penggunaan miniatur yang minim atau efek ledakan tidak harus memakai bahan peledak yang sesungguhnya. Yang ketiga adalah keamanan kru film lebih terjamin, khususnya untuk para aktor-aktris serta stuntman dalam melakukan berbagai adegan yang berbahaya. Dan yang keempat adalah hasil akhir secara visual yang begitu mirip dengan wujud yang nyata dan detil, serta berbagai efek yang didramatisir secara maksimal. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah : Yang pertama, sering kita temui berbagai adegan aksi yang agaknya berlebihan, tidak masuk akal, meski memang menarik, namun seakan-akan kita seperti melihat visual ‘komik bergerak’, pengecualian ada di film-film superhero. Yang kedua adalah manipulasi efek visual yang berlebihan, yang mungkin akan menurunkan nilai dari film itu sendiri. Terkadang kita bisa melihat atau berpikir, mana yang lebih baik, visual secara digital atau secara nyata dalam wujud tiga dimensi, misalnya adegan kejar-kejaran dan baku hantam kendaraan, efek ledakan atau runtuhnya bangunan, efek mahluk mengerikan atau pula adegan aksi seseorang misalnya melompat sambil menembaki musuhnya. Sedangkan yang ketiga adalah manipulasi efek fisik aktor-aktris dalam film, seperti animasi wajah Jeff Bridges dalam Tron Legacy (2010), Bruce Willis dalam Surrogates (2009) atau Arnold Schawarzenegger di dua film Terminator yang terakhir, bahkan sang aktor tidak terlibat sama sekali –hanya meminjamkan wajahnya saja- dalam Terminator Salvation (2009). Memang sepertinya menyenangkan jika menyaksikan film-film tersebut, namun dengan adanya manipulasi digital, apakah akan mengurangi nilai dan esensi akan orisinalitas akting dan faktor humanisme dalam film itu sendiri?
Kita menikmati suatu film dengan menggunakan kedua indera, yakni penglihatan yang diimplementasikan melalui visual dan pendengaran yang diimplementasikan melalui audio. Evolusi teknologi yang diterapkan dalam industri perfilman sepanjang sejarahnya -khususnya visual dan audio- jelas mengalami transformasi format ke arah yang lebih baik. Secanggih apapun teknologi yang sedang diterapkan dalam film, hasilnya ditinjau dari dua hal, yakni estetika dan pendapatan. Untuk estetika, bagaimanapun juga, hanya konsumen yang bisa menilai baik atau buruk, selain tentunya aspek lainnya seperti akting, dialog atau sisi humanisme. Sedangkan untuk pendapatan, adalah jika bisnis suatu film mendapat profit dan memiliki peluang untuk dilanjutkan kepada pembuatan seri berikutnya. Semuanya adalah perseptif atau sesuai selera, bagaikan menikmati hasil sebuah lukisan.