Saya buka artikel ini dengan sebuah pernyataan bahwa Suicide Squad adalah film superhero yang paling saya tunggu di tahun 2016. Bukan Batman v Superman: Dawn of Justice, Captain America: Civil War, Rogue One: A Star Wars Story, atau bahkan Doctor Strange. Apa yang tertulis di dalam artikel ini adalah ulasan dari seseorang yang sudah berharap tinggi dengan konsep dan juga janji-janji manis sebelum film Suicide Squad ditayangkan.
But sorry to say, you disappoint me, Suicide Squad.
Suicide Squad = Menu Fast Food
Suicide Squad selalu punya cara dalam meningkatkan hasrat para calon penontonnya untuk tetap teguh menyaksikan film ini di bioskop. Penampilan Joker yang eksentrik di trailer perdananya, serta lagu Bohemian Rhapsody yang padu dengan editing-nya jadi salah satu faktor marketing yang bisa dibilang sukses di media sosial. Data pun menyebutkan bahwa sejak Maret hingga Mei 2016, film ini berhasil menguasai perbicangan di Twitter dan mengalahkan Finding Dory serta Ghostbusters. Sebuah bukti sederhana bahwa film ini perkasa dari segi pemasaran, khususnya dalam hal mencuri atensi. Tapi apa lacur, Suicide Squad tak ubahnya menu restoran fast food yang hanya tampak nikmat dalam poster, namun justru mengecewakan saat dihidangkan.
Sama seperti formula film pada umumnya, Suicide Squad dimulai dengan pengenalan para anggota yang akan dikumpulkan dalam Task Force X atau yang disebut juga Suicide Squad. Bagian ini dikemas dengan pace yang begitu cepat dan back story yang tak bertele-tele. Setting kisah pun mengambil waktu pasca film Batman v Superman: Dawn of Justice, yang sudah diperlihatkan dalam beberapa trailer film ini.
Setelah memasuki tahap pengenalan, sesuatu yang mengganjal di film Suicide Squad perlahan mulai terasa. Meskipun harus diakui ada masalah lainnya, namun inilah yang paling menggangu, yaitu kedangkalan latar belakang konflik yang jadi dasar cerita. Ibarat sebuah badan, film ini memiliki penyakit serius di jantungnya, yang tak terlihat secara kasat mata namun berpengaruh pada organ lainnya. Ya, cerita dalam film ini amat klise dan sayangnya tak ada sangkut pautnya dengan kisah di film Batman v Superman. Mengecewakan, karena kisah dari film Batman v Superman sejatinya meninggalkan banyak pertanyaan penting dan bibit masalah yang bisa saja digali lebih dalam.
Pengembangan konflik dan inti permasalahan yang terlalu dangkal ini sebenarnya bisa diobati dengan penampilan karakter yang kuat. Namun sayang hanya Deadshot, Rick Flag, Captain Boomerang dan Harley Quinn saja yang mampu mencuri perhatian, sisanya hadir dengan porsi seadanya dan tak menggairahkan. Ada dua anggota Suicide Squad yang tak begitu penting, atau bahkan bisa hapus dari dalam cerita film ini. Maaf, saya tak bisa menyebutkan siapa mereka.
Penampilan Joker dan Harley Quinn
Sayang sungguh sayang, Jared Leto yang dijadikan umpan dalam memancing penonton justru tak diberi porsi besar dalam film ini. Padahal ia hadir dengan feel Joker yang berbeda. Lebih metroseksual, melankolis, dan kejam. Namun karena sorotan untuk karakter Joker terbatas, kemampuan Jared Leto yang pernah menggondol piala Oscar ini tak tercurah dengan maksimal. Bahkan, ada beberapa scene dalam trailer Suicide Squad yang tak ditampilkan dalam film ini. Entah apa alasannya, namun minimnya durasi penampilan Joker justru mengurangi keseruan Suicide Squad. Beruntung, Harley Quinn sukses mencuri perhatian sebagai subtitusi Joker meskipun keunikan karakternya tak sepadan.
Baik Jared Leto (Joker) dan Margot Robbie (Harley Quinn), keduanya berhasil tampil memukau dan menjalin chemistry yang kuat. Sebuah penggambaran unik kisah cinta pasangan kriminal gila yang awam untuk ditemui dalam film superhero lainnya. Chemistry yang dibangun kedua karakter ini terjalin sangat kuat, terlebih setelah Dr Harleen Quinzel berubah menjadi sosok Harley Quinn.
Di lain sisi, banyak pihak yang meragukan kualitas Jared Leto saat ia dipilih sebagai pemeran Joker di film ini. Seakan berusaha lepas dari bayang-bayang Joker a la Heath Ledger, Leto ternyata berhasil menampilkan Joker versinya sendiri dengan suara khas dan gestur anehnya yang tampak jelas dalam film ini. Mengingat minimnya porsi sang Joker, tentu belum pantas untuk membandingkan Leto dengan Ledger hanya dengan Suicide Squad. Jika Joker (Jared Leto) ditampilkan lagi dalam film solo Batman nantinya, mungkin ia akan memiliki porsi dan juga pengembangan karakter yang lebih dalam. Di sanalah, sepertinya lebih bijak untuk membandingkan kedua aktor ini sebagai pemeran Joker.
Bukan Will Smith atau Jared Leto, namun Margot Robbie adalah yang terbaik dalam film ini. Mudah untuk mencintai karakter Quinn dan juga kagum atas akting Margot Robbie. Kata “Puddin” yang terucap dari Harley Quinn terdengar begitu pas, apalagi dilengkapi dengan akting berkualitas Margot Robbie. She’s simply the most powerful character in this film.
Kebingungan David Ayer
David Ayer yang jadi penulis dan juga sutradara Suicide Squad nampaknya harus lebih banyak belajar lagi dalam mengemas film superhero. Overall, penyutradaraan Ayer cukup impresif, ia berani menghadirkan film aksi dengan lebih dari 50% musik sebagai latar belakang suara di tiap scene-nya. Sayangnya, ia terganjal dengan naskah dan cerita dangkal yang ia buat sendiri. Motivasi dan tujuan cerita yang tidak jelas secara tak langsung menutupi kekuatan storytelling yang unik a la David Ayer. Plot nya pun begitu lemah, generic superhero movie.
Entah ini perintah dari pihak studio atau tidak, dalam film ini terdapat banyak adegan humor yang langka untuk ditemukan dalam film DC lainnya. Mungkin ini adalah respon atas kritik film Batman v Superman yang dianggap terlalu dark. Untungnya Ayer memberi porsi yang pas untuk humorous side tiap karakternya. Tak ada yang berlebihan dan tak ada yang kurang, namun usaha dalam meraih hati penonton dan para kritikus ini terlalu blak-blakan diperlihatkan oleh DC.
Film ini dipaksa untuk tetap terlihat seru dan juga “keren” meskipun ceritanya tak memiliki tujuan yang jelas. Menurut saya, jika Suicide Squad jadi bagian utama dari timeline kisah DCEU, maka film ini tak penting untuk dibuat. Mengapa? Karena DCEU akan tetap berjalan dengan kisah dari film lainnya. Tak ada benang merah atau gagasan penting dalam film ini yang menyangkut kisah DCEU. Ending dalam film ini pun seperti dibuat-buat untuk bisa menyambung ke kisah yang baru. Padahal semua masih bisa diperlihatkan dalam film solo Batman, The Flash, Justice League, atau bahkan Wonder Woman. Satu hal yang pasti, pihak studio terlalu berusaha memperbaiki kesalahan dari film Batman v Superman, yang justru membuat Ayer dan Suicide Squad kehilangan arah. Masih ingat rumor bahwa film Suicide Squad melakukan reshoot di bulan April lalu?
Di balik kekurangan, masih ada poin positif yang bisa dipetik dalam film ini. Fun dan juga sajian action yang bertubi-tubi membuat film ini terasa begitu cepat dan mengalir. Dilantunkan dengan penuh distorsi, musik yang hadir dalam film ini juga memperkuat nuansa bad guys para karakternya. Bisa dibilang Ayer memiliki sense yang baik dalam menempatkan musik dalam film ini. Selain selera musik, keunikan Ayer juga datang dari gaya visual effect yang ia hadirkan. Seperti menonton game dalam bioskop, Ayer memperlihatkan banyak warna cerah dan grafis memukau yang senada dengan tone film ini. CGI-nya pun tampak rapi, meskipun ada beberapa bagian yang terasa kurang dipoles.
Jika menganggap bahwa Batman v Superman kekurangan unsur humor, maka Suicide Squad berhasil menambal kesalahan ini. Namun sayangnya, Suicide Squad menciptakan kesalahan baru lagi yaitu kedangkalan cerita dan produksi yang (kabarnya) berantakan. Ekspektasi Anda yang begitu tinggi harus dikubur dalam-dalam karena overall film ini biasa saja dan tak meninggalkan kesan yang berlebih. Bahkan, Batman v Superman yang notabene dianggap begitu kacau masih punya banyak scene yang memukau dan memorable.
Apakah film ini akan memiliki versi Director’s cut yang lebih baik? Mungkin saja, karena dalam sebuah tweet-nya, Ayer pernah memperlihatkan timeline editing film Suicide Squad. Di situ, terlihat bahwa Suicide Squad memiliki durasi lebih dari 2,5 jam. Selisih yang lumayan jauh dari versi theatricalnya yang hanya berkisar 2 jam. Semoga saja versi Director’s cut tersebut bisa memberikan nilai positif guna memperbaiki cerita dalam film ini.
Beban berat kini dipikul oleh film Wonder Woman dan juga Justice League yang akan segera tayang tahun depan. Batman v Superman dan Suicide Squad sudah menunjukkan beberapa kesalahan yang haram untuk diulangi jika DC ingin superior di kancah perfilman superhero. Pihak studio harus mengevaluasi banyak hal sebelum membuat kesalahan fatal di film-film selanjutnya. Pemilihan sutradara dan kemantapan naskah jadi dua momok yang menghantui DC selama ini. Percayalah, sebagai penonton kami rela menunggu lebih lama agar mendapatkan film yang berkualitas, bukan sekedar promosi menarik layaknya film cepat saji yang tak bergizi.
Rating: 7/10