Invasi makhluk luar angkasa sekali lagi menjadi tema yang dikedepankan dalam film yang digawangi Chris Columbus dan dibintangi Adam Sandler ini. Namun, bedanya dibandingkan dengan film-film mengenai invasi makhluk luar angkasa lainnya yang rata-rata menjurus serius cenderung horor ataupun bertipe disaster movie, Pixels ditujukan untuk mengundang tawa dan menghibur, selain juga berusaha menggali perasaan nostalgia, khususnya bagi kalangan yang dulu mengalami masa kejayaan mesin-mesin game arcade. Hal ini dikarenakan, selain dikemas dalam frame aksi komedi, makhluk luar angkasa yang ditampilkan dalam Pixels mengambil wujud tokoh-tokoh game populer sepanjang masa dan tokoh-tokoh legendaris, tanpa memperlihatkan bagaimana wujud asli mereka hingga film usai, pun motivasi invasinya yang hanya sekadar akibat kesalahpahaman semata.
Imbasnya sudah tentu, film hasil presentasi layar lebar dari film pendek berjudul sama karya Patrick Jean yang dibuatnya lima tahun silam ini coraknya sangat berbeda dengan film-film Sandler lainnya, meski tentunya sudah merupakan rahasia umum bahwa Pixels meski bujet produksinya mencapai lebih dari $100 juta masih mendapat cap karakteristik film sang aktor, yakni dikredit buruk. Apalagi kondisi ini diperparah dengan ulasan awal yang tidak mengenakkan perihal film ini
Berangkat dengan ekspektasi yang diset rendah meski jika dilihat dari materi promosinya menawarkan hal yang sangat menarik, secara keseluruhan Pixels, hasilnya tidaklah seburuk ulasan yang membombardirnya di awal perilisannya. Usai menyaksikannya, kesan yang didapat adalah film ini ibarat persilangan Ghostbusters, Wreck-It-Ralph, TRON, dan juga premis komik Street Fighter zadul (yang mengetengahkan jiwa seorang anak kecil yang masuk ke dunia game dan berusaha mencegah sistem jahat di dunia tersebut yang ingin menguasai dunia manusia). Jika diurai konsep maupun unsur-unsur yang ada di filmnya, memang harus diakui bahwa begitu banyak klise film-film lain yang ada di sini, namun perlu ditekankan pula bahwa Pixels juga memiliki sisi uniknya tersendiri. Adapun mengenai minusnya, yang paling kentara adalah kualitas skrip karya Tim Herlihy, yang imbasnya membuat berada di rating mana film ini seharusnya, di mana sisipan humor-humor menjurus dewasanya membuat film ini kurang pantas ditonton anak di bawah umur meski premis utama maupun pengeksekusiannya jelas-jelas ibarat ditujukan sebagai tontonan keluarga.
Columbus bisa dinilai berhasil dalam memberi suguhan menghibur yang juga mampu memancing rasa nostalgia. Apalagi dalam mengemasnya, sang sineas mengemasnya secara sederhana, tanpa kedalaman apapun yang menjadikan siapapun akan dapat dengan mudah mengikuti kisahnya. Selain referensi maupun tribut untuk game-game klasik yang dihadirkan di sini pun tidak hanya sekadar tempelan semata, Pixels juga memiliki keimpresifannya sendiri yang rasanya bakal menjadikannya kandidat film cult di masa datang. The charm of Pixels is that it is pure, 100% dumb fun. Sedangkan, dosa paling besar dari Pixels adalah film ini bisa dibilang perilisannya salah era. Hal ini dikarenakan sajian yang nuansa film tahun 1980-annya sangat kental ini sebenarnya punya potensi menjadi film bereputasi besar dan tidak menutup kemungkinan memberikan banyak pengaruh ke ranah perfilman, jika saja dirilis dua-tiga dekade sebelumnya.