Di tahun 2013, walaupun diperkuat jajaran pemain bernama besar (dua di antaranya adalah dua legenda yang sebelumnya sama-sama mendukung trilogi TDK besutan Chris Nolan, Michael Caine dan Morgan Freeman) dan gelontoran bujet sebesar $75 juta, dibandingkan film-film pesaingnya yang dirilis di bulan yang sama tahun itu, seperti Star Trek Into Darkness, Fast & Furious 6, The Hangover: Part III, After Earth maupun The Great Gatsby, Now You See Me masih kalah mentereng, baik dari segi reputasi pra-rilis maupun skala produksinya.
Akan tetapi, di luar dugaan, sineas Louis Letterier yang dipercaya mengolah pitch rumusan Boaz Yakin (Remember the Titans, Uptown Girls) dan Edward Ricourt tersebut mampu menjungkirbalikkan papan klasemen. Lewat tangan dinginnya sineas yang sebelumnya menuai kritik pedas atas kinerjanya di remake Clash of the Titans ini sukses menghadirkan paket aksi unik yang sangat menggelitik, mengawinkan tema heist dengan balutan aksi sulap panggung dan pembeberan rahasia trik pintarnya. Hasilnya, Now You See Me melejit menjadi film kuda hitam pada tahun itu.
Meninggalkan beberapa lubang yang ditengarai sengaja guna membuka kemungkinan kemunculan kisah sekuelnya, bukan langkah yang sulit diduga jika kemudian pihak Lionsgate memberi lampu hijau pada kisah kelanjutannya, yang hasilnya adalah film ini. Meski demikian, berbeda dengan penggarapan film satelitnya, sang nahkoda, Letterier absen dari kursi penyutradaraan, digantikan oleh Jon M. Chu (Step Up 2: The Streets, Step Up 3D, Justin Bieber: Never Say Never, G.I. Joe: Retaliation). Proyek sekuel ini juga harus kehilangan dua aktris utamanya, Isla Fisher yang tengah berbadan dua dan Melanie Laurent yang tidak lagi diikutsertakan. Sebagai gantinya, digamit aktris Cloverfield, Lizzy Caplan dan Daniel Radcliffe, yang keberadaannya di sini membawa daya tarik tersendiri, karena tidak ubahnya kelakar atau ajang nostalgia bagi sang aktor yang angkat nama sebagai penyihir cilik Harry Potter.
Masih berlandaskan konflik utama di film pertamanya dan tetap mengusung formula yang sama, bergantinya sineas yang membidani film ini berefek menjadikan impresi yang mencuat di sini sedikit berbeda dengan kemasan film pertamanya. Kali ini, unsur fun dalam film sebelumnya sedikit menguap karena jalinan kisahnya cenderung menjadi lebih serius. Tidak hanya itu saja, misi menjadikan Now You See Me 2 ini mendulang sukses di market internasional begitu terasa, dengan kali ini ‘medan pertunjukan’ The Four Horsemen membawa mereka melalang buana ke berbagai negara (khususnya Macau, thanks to the now all-important Chinese market) dan berusaha menghadirkan kesan sebagaimana yang berhasil disajikan Fast Five untuk Vin Diesel dan kawan-kawannya, maupun Mission: Impossible – Ghost Protocol untuk Tom Cruise dan timnya.
Sayangnya, pada kasus ini, skala yang makin besar bukan berarti hasilnya lebih baik. Sekuel ini tidak hanya belum mampu menutupi permasalahan yang dijumpai sebelumnya di film pertamanya, contohnya, penampilan The Horsemen yang masih kurang menggigit dan kebanyakan trik sulap yang dihadirkan di film masih sangat disokong efek CGI alih-alih properti sulap sungguhan yang dirakit dengan daya kreativitas tinggi. Bedanya, kalau di film pertamanya aksinya banyak dilangsungkan di atas panggung, kali ini lebih bernuansa sulap jalanan. Kelemahan baru yang muncul dalam sekuel ini adalah penuturan jalan ceritanya yang menimbulkan rasa sedikit lelah dalam mengikutinya dan kesan aksi yang dipaksakan untuk menjadikan film ini lebih “besar” dari sebelumnya, yang apa lacur gagal terwujud.
Dari segi pemainnya, paling yang layak mendapat poin lebih adalah muka baru Lizzy Caplan yang terlihat berusaha keras menunjukkan eksistensinya bahwa pemilihan dirinya sebagai subsitutor Fisher bukan pilihan yang salah serta Woody Harrelson yang memang lagi-lagi mampu memperlihatkan kelasnya. Sedangkan, sebagai pengemban pemegang tokoh penggerak cerita, Mark Ruffalo dan Jesse Eisenberg kurang berhasil mendongkrak penampilannya dari babak sebelumnya.
Dengan premis science vs magic sejatinya kisah yang bisa dihadirkan bisa lebih menarik lagi, namun M.Chu yang terkesan lebih memusatkan ke faktor aksi malah mengeliminasi daya tarik paling essensial di film pertamanya, yakni faktor prestige dalam film ini, menjadikan level ‘trik’ di film ini paling dapat dikategorikan sampai tahap the turn saja. Tidak hanya itu saja, menyaksikan film ini tidak ubahnya melihat aksi sulap lama yang dipentaskan berulang-ulang, dan bisa dikatakan sebagai sekuel yang tidak begitu membantu kualitas film pertamanya. Dan parahnya lagi, penjelasan trik pamungkas yang digunakan terkesan sangat dipaksakan dan elemen kejutannya sangat berkurang, dibanding trik yang ada di paruh awal cerita.